Selasa, 13 Januari 2015

PABRIK RENDENG DAN TANAM PAKSA DI KARESIDENAN PAT


PABRIK RENDENG DAN TANAM PAKSA DI KARESIDENAN PAT

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Kesulitan financial yang dihadapi Belanda sebagai akibat Perang Jawa: 1825-1830 di Indonesia dan Perang Belgia: 1830-1831 di negeri Belanda serta budget negeri Belanda sendiri yang dibebani oleh bunga yang berat, dan harapan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan yang besar dari koloni-koloninya, terutama dari Jawa dengan jalan apapun merupakan motif utama pelaksanaan tanam paksa (cultuur stelsel) oleh van den Bosch sejak 1830 (Daliman,2012:29).
Peristiwa naiknya Gubernur Jenderal van den Bosch pada tanggal 16 Januari 1830 menggantikan Gubernur Jenderal van der Capellen menandai kebangkitan kekuasaan kaum konservatif di Parlemen Belanda. Pada pemerintahan baru ini, van den Bosch menerapkan aturan yang disebut dengan Cultuurstelsel (Cultivation System) yang berarti sistem tanam paksa yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami tanaman komoditi ekspor. Hal ini dilakukan dengan tujuan memperoleh pendapatan sebanyak-banyaknya dalam waktu yang relatif singkat. Sistem tanam paksa ini merupakan era paling eksploitatif dalam pemerintahan Hindia Belanda dimana sistem ini lebih keras dan kejam karena dalam prakteknya banyak sekali penyimpangan yang justru dilakukan oleh penguasa lokal akibat adanya Cultuur Procenten.
       Sistem Tanam Paksa yang memaksa rakyat menanam tanaman tertentu sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan pemerintah Belanda ternyata menjadi aset penting karena mampu mencukupi dan menciptakan kemakmuran negeri Belanda, bahkan Bosch mendapat gelar Graaf dari pemerintahannya atas keberhasilannya di tahun 1839. Namun disisi lain hal ini mengakibatkan rakyat banyak yang menderita dan sengsara. Akhirnya pemerintah Belanda bereaksi dengan munculnya pertentangan antara golongan liberal dan humanis dan di tahun 1870 secara resmi sistem tanam paksa dihapus dengan munculnya Undang-Undang Land Reform (Agraria). Walaupun pada dasarnya sistem tanam paksa sangat menyengsarakan rakyat, ternyata memiliki hal positif diantaranya terbukanya lapangan pekerjaan, mengenal tanaman baru dan teknik penanamannya.
           Waktu Pemerintahan Hindia Belanda masih menguasai Indonesia, termasuk pulau Jawa. Kota Pati menjadi ‘Ibukota Karesidenan Pati’ membawahi Kabupaten Kudus, Rembang, Blora, Jepara dan Pati sendiri. Ada beberapa orang Belanda yang bekerja dipemerintahan sebagai pegawai Pemerintahan Hindia Belanda, antara lain Residen, ada yang di pekerjaan umum. Seperti pada daerah-daerah lainnya di pulau jawa, system tanam paksa juga terjadi di daerah tersebut (Jepara, Kudus, dan Pati). Di daerah tesebut rakyat juga diharuskan untuk menanam tanaman yang berlaku untuk pasaran luar sebagai hasil pemasukan kas untuk pemerintah Hindia-Belanda.
Makalah ini akan membehas tanam Paksa di Karesidenan Pati Khususnya di pabrik Rendeng yang merupakan salah satu peninggalan system tanam paksa.
1.2    Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pelaksanaan system tanam paksa di Karesidenan Pati?
2.      Bagaimana perkembangan pabrik Rendeng sebagai salah satu produk dari system tanam paksa di Karesidenan Pati?
1.3    Tujuan
1.      Menambah pengetahuan mengenai system tanam paksa di Karesidenan Pati
2.      Mengetahuan mengenai seluk beluk pabrik Rendeng sebagai peninggalan system tanam paksa di Karesidenan Pati

BAB II
PEMBAHASAN
2.1    Tanam Paksa di Karesidenan Pati
Cultuurstelsel merupakan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan oleh pihak Belanda antara tahun 1830 hingga pertengahan abad ke-19. Sistem tanam paksa yang diterapkan pada zaman itu pada dasarnya adalah suatu penghidupan kembali sistem eksploitasi dari zaman VOC yang berupa pengerahan wajib dan sistem pajak tanah. Oleh karena itu ciri pokok tanam paksa terletak pada keharusan untuk membayar pajak dalam bentuk barang, yaitu berupa hasil pertanian mereka, bukan dalam bentuk uang (Noer Fauzi, 1999:29).
Menurut G. Moedjanto (1988: 17-18), Cultuurstelsel adalah istilah resmi pengganti cara produksi yang tradisional dengan cara produksi yang rasional. Tanam paksa adalah usaha pemerintah yang dalam pelaksanaannya menggunakan cara-cara paksa. Cultuurstelsel adalah sistem eksploitasi yang ditandai dengan :
a.          Cultuurstelsel merupakan kegiatan negara di bidang ekonomi
b.         Pemerintah Belanda dengan alat-alatnya ikut campur dalam masalah produksi
c.          Aktif mengurus kegiatan sampai ke pedalaman
d.        Penggunaan uang sebagai alat tukar makin merata sampai ke pelosok
Menurut ketentuan Lembaran Negara (Staatsblad) tahun 1834 No. 22 ketentuan pelaksanaan sistem tanam paksa adalah sebagai berikut :
a.          Persetujuan akan diadakan dengan penduduk di mana penduduk akan menyediakan sebagian dari tanahnya untuk penanaman tanaman perdagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
b.         Bagian dari tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak diperbolehkan melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki oleh penduduk desa
c.          Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman perdagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
d.         Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman perdagangan dibebaskan dari pembayaran pajak tanah
e.          Tanaman perdagangan yang dihasilkan di tanah yang disediakan wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda; jika nilai hasil tanaman perdagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
f.          Panen tanaman perdagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah, sedikitnya jika kegagalan itu tidak disebabkan oleh kelalaian rakyat.
g.         Penduduk desa akan mengerjakan tanah di bawah pengwasan kepala-kepala, sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya akan membatasi diri pada pengawasan pembajakan tanah, panen, dan pengangkutan tanaman agar bisa berjalan dengan baik dan tepat pada waktunya (Noer Fauzi, 1999: 320).
Ketentuan-ketentuan di atas memang kelihatannya tidak terlampau menekan rakyat walaupun pada prinsipnya orang dapat mengajukan keberatan mengenai unsur paksaan yang terdapat dalam sistem tanam paksa seringkali jauh menyimpang dari ketentuan pokok, sehingga rakyat banyak dirugikan.
Penyelewengan dalam pelaksanaan tanam paksa mengakibatkan kemerosotan sosial ekonomi penduduk. Melihat keadaan ini golongan liberal menentang kebijaksanaan politik golongan konservatif yang sangat menyengsarakan rakyat.
Tanam Paksa ini juga terjadi di Karesidenan Pati. Yang menjadi komoditas pokok adalah Tebu, kopi. Sedangkan untuk daerah Kudus terdapat kopi, tebu, cengkeh. Untuk daerah jepara tanaman yang ditanam adalah tebu serta ada kopi namun dalam jumlah yang kecil (The Politics of Colonial Exploiations). Karena disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Khusus untuk penanaman tebu, maka di daerah-daerah gula seluruhnya terdapat 484.000 bahu tanah rakyat yang mana itu kira –kira setengah dari sawah yang ada.
Tugas petani bukan sekedar menanam, tetapi juga memproses hasil panennya untuk diserahkan di gudang-gudang pemerintah. Pengangkutannya ke gudang-gudang tersebut adalah tugas petani pula.
Waktu Pemerintahan Hindia Belanda masih menguasai Indonesia, termasuk pulau Jawa. Kota Pati menjadi ‘Ibukota Karesidenan Pati’ membawahi Kabupaten Kudus, Rembang, Blora, Jepara dan Pati sendiri. Hasil bumi dizaman kolonial Belanda yang terkenal di Karesidenan Pati adalah gula. Di Karesidenan Pati ada 5 pabrik gula yang besar, 2 di Kudus dan yang 3 ada di Pati. Tetapi saat ini Di Kudus terdapat satu pabrik gula, yaitu Pabrik Gula (PG) Rendeng. Tak jauh dari Kudus, yaitu di Pati, terdapat PG Pakis Baru dan PG Trangkil.
2.2    Seluk beluk pabrik rendeng
Di Kudus pada waktu itu perusahaan yang berkembang adalah pabrik Gula, yaitu Pabrik Gula Rendeng. Pabrik Gula Rendeng ini di dirikan pada tahun 1840 oleh N.V Mirandolie Voute en CO (M.V.C) yang berpusat di Den Haag, Nederland dan di Indonesia berpusat di Semarang. Pada saat Jepang menjajah Indonesia pada tahun 1942 pabrik gula Rendeng yang semula bernama ”Rendeng Suiker Fabriek” diubah namanya menjadi ”Rendeng Sitocho Kabushiki Kaisha”. PG Rendeng yang berdiri sejak 1840, membawahi lahan tebu yang ada di enam kabupaten di pantura timur mulai dari Blora, Rembang, Pati, Kudus, Demak dan Jepara. Luasan lahan di enam kabupaten yang memasok tebu ke PG Rendeng seluas 5.089 hektare.
Sekarang ini Performa mesin merupakan salah satu faktor menentukan dalam produksi gula kristal. Kapasitas produksi mesin PG Rendeng masih di bawah PG Pakis Baru dan PG Trangkil yang dikelola pihak swasta. Kapasitas giling mesin PG Rendeng hanya 24.500 kwintal per hari. Sedang kapasitas giling PG Trangkil, mampu mencapai 60 ribu kwintal per hari.
Sindonews.com - Usia mesin pabrik gula (PG) Rendeng Kudus yang sudah berusia ratusan tahun, membuat kapasitas produksi perusahaan di bawah PT Perkebunan Nusantara IX (Persero) ini tidak maksimal.
Karena itu, butuh dana hingga Rp500 miliar agar perusahaan ini mampu mendongkrak produksi gula kristal di wilayah Provinsi Jawa Tengah.

PG Rendeng yang berdiri sejak 1840, membawahi lahan tebu yang ada di enam kabupaten di pantura timur mulai dari Blora, Rembang, Pati, Kudus, Demak dan Jepara. Luasan lahan di enam kabupaten yang memasok tebu ke PG Rendeng seluas 5.089 hektare.
Administrator PG Rendeng Kudus, Teguh Agung Tri Nugroho mengatakan, bahan baku tebu untuk membuat gula kristal di wilayah pantura timur Jateng sebenarnya masih melimpah, yakni sekitar 20 juta kwintal setahun. Namun yang mampu terserap PG Rendeng hanya sekitar tiga juta kwintal tebu.
Dari jumlah tersebut, gula kristal yang mampu diproduksi perusahaan yang dipimpinnya masih dalam angka ratusan ribu kwintal. Pada 2011, gula kristal yang diproduksi sebanyak 114.171,00 kwintal. Pada 2012, meningkat menjadi 188.262,00 kwintal.
Tahun ini, diproyeksikan gula kristal yang mampu diproduksi sebanyak 243.782,87 kwintal. Musim giling tahun ini dimulai 12 Mei. Proses produksi gula kristal tersebut akan berlangsung hingga 137 hari ke depan atau berakhir pada 2 Oktober 2013.
Kapasitas mesin produksi kita memang kecil, usianya juga sudah ratusan tahun. Energi memang sesuatu yang paling vital dalam perusahaan ini. Mulai dari boiler, turbin generator, hingga gilingan milik kita memang sudah berumur," katanya di Kudus, Sabtu (27/4/2013).
Performa mesin merupakan salah satu faktor menentukan dalam produksi gula kristal. Kapasitas produksi mesin PG Rendeng masih di bawah PG Pakis Baru dan PG Trangkil yang dikelola pihak swasta. Kapasitas giling mesin PG Rendeng hanya 24.500 kwintal per hari. Sedang kapasitas giling PG Trangkil, mampu mencapai 60 ribu kwintal per hari.
Idealnya, memang perlu adanya revitalisasi pabrik untuk mendongkrak produksi gula kristal. Namun, hal itu tidak mudah. Sebab membutuhkan dana sekitar Rp500 miliar atau 30 persen dari biaya membangun pabrik baru, persoalannya laba yang kita dapatkan tidak mampu menutupi kebutuhan untuk revitalisasi pabrik itu.
Terlepas dari kecilnya kapasitas produksi gula kristal yang mampu dihasilkan, dalam tiga tahun terakhir ini pihak Rendeng tetap berupaya menggenjot produktifitas tanaman tebu yang ada di enam kabupaten. 
Salah satu caranya dengan progam peremajaan bibit tanaman tebu. Sejak 2011, areal tebu binaan PG Rendeng yang sudah diremajakan sekitar 20 persen. Karena keuntungan yang diperoleh tidak hanya produktivitas tebu yang meningkat tapi kualitasnya juga kian baik
.
Dampak positif yang ditimbulkan oleh pabrik gula Rendeng sendiri adalah membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat. selain itu ada juga dampak negatifnya yaitu adanya limbah yang dihasilkan oleh pabrik gula, akan tetapi limbah tersebut dapat ditangani sehingga tidak banyak berpengaruh pada masyarakat sekitar, dan limbah itu dapat dimanfaatkan seperti untuk pupuk pertanian, bahan bakar ketel pada Pabrik Gula Rendeng, bahan bakar untuk memasak yang banyak dimafaatkan oleh masyarakat sekitar. Sedangkan pada limbah cair dialirkan kesawah-sawah pertanian yang bisa menyuburkan tanaman karena dalam limbah cair bakterinya sudah dibersihkan dengan pupuk urea dan TSP (Tri Super Phosfat).
     Tanaman Tebu sampai sekarang ini masih bisa ditemui diderah Kudus. Banyak para petani yang berminat untuk menanamnya wilayahnya meliputi semua kecamatan di Kota Kudus, kecuali Kecamatan Undaan. Produksi terbesar terdapat di Kecamatan Dawe. Jenis perkebunan di Kabupaten Kudus yang terbesar adalah tanaman tebu dengan luas areal 6.237,62 Ha dan jumlah produksi 370.182,8 ton. Pengolahan tebu menjadi gula putih dilakukan di Pabrik Gula Rendeng. Sedangkan pengolahan tebu untuk dijadikan gula tumbu dilakukan sendiri oleh petani. Kebanyakan tebu di Kabupaten Kudus cenderung diolah sendiri oleh petani, karena untuk masuk ke penggilingan Pabrik Gula Rendeng yang masih dioprasikan hingga saat ini dan masih banyak hambatan baik antrean giling, tingkat rendemen, maupun persaingan harga jual.
Kondisi sosial ekonomi Sejak pemerintah menetapkan Inpres No.9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi, Pabrik Gula Rendeng menunjukan perkembangan yang sangat berpengaruh bagi masyarakat sekitar. Perkembangan itu meliputi produksi, ketenagakerjaan, luas lahan tebu, pemasaran, kesejahteraan karyawan buruh pabrik gula Rendeng, dan perkembangan ekonomi masyarakat sekitar.
Sekarang sudah setahun lebih Pabrik Gula (PG) Rendeng Kudus mulai dimanfaatkan untuk aktivitas  wisata edukasi yang biasa diperuntukkan bagi pelajar, dan hal ini berlaku hingga sekarang. Administratur PG Rendeng, Ir Agung Tri Nugroho melalu staf PG Rendeng, G Tri Priyanto menjelaskan, memang PG Rendeng yang berdiri tahun 1840 tersebut sampai saat ini sudah banyak dikunjungi oleh wisatawan salah satunya saat ini masih didominasi oleh para pelajar.
PG Rendeng yang berada dibawah pengelolaan PTPN IX (Persero) hingga saat ini masih berporduksi. Jenis gula yang dihasilkan adalah SHS 1A atau gula kristal putih, dengan jumlah tebu yang digiling sebanyak 3,5 juta kuintal yang diperoleh dari enam wilayah kabupaten.
Mengenai prosedur kunjungan hal itu cukup mudah, tinggal mengirimkan surat permohonan untuk ijin berkunjung, sehingga pihaknya akan mengatur jadwal dan persiapan yang dilakukan.
Banyak manfaat jika mengunjungi PG Rendeng, selain mengetahui lebih dekat bagaimana proses tebu diolah kemudian menjadi gula. Disisi lain mengenal sejarah cagar budaya ciptaan kolonial Belanda berupa bangunan.
Pengunjung diharapkan nantinya bisa dikenalkan bagaimana tradisi awal musim giling. Sebab keunikan di PG Rendeng tidak hanya berbicara soal teknologi, tetapi juga menjaga kerukunan saat musim giling berlangsung agar menghasilkan gula yang berkualitas.



BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Kebanyakan jenis tanaman yang ditanam pada masa tanam paksa yang terjadi di daerah jepara, kudus, pati adalah tebu, kopi dan juga cengkeh untuk daerah kudus. Penanaman tebu membawa beban yang sangat berat bagi rakyat karena menuntut pengolahan tanah yang intensif, pengairan, pemeliharaan. Berbeda dengan kopi yang justru memerlukan tanah yang agak tandus (woeste gronden). Yang tidak dapat digunakan untuk persawahan, terutama dilereng-lereng gunung. Tetapi ada segi positifnya ketika waktu panen datang meskipun banyak makan waktu dan tenaga, tetapi dari hal itu industri gula banyak menciptakan kesempatan kerja dan rakyat memperoleh tambahan pendapatan.
Terbukti dengan berdirinya Pabrik Gula Rendeng Dampak positif yang ditimbulkan oleh pabrik gula Rendeng sendiri adalah membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat. Selain itu ada juga dampak negatifnya yaitu adanya limbah yang dihasilkan oleh pabrik gula, akan tetapi limbah tersebut dapat ditangani sehingga tidak banyak berpengaruh pada masyarakat sekitar, bahkan limbah tersebut juga dimanfaatkan sebagai pupuk pertanian.
Sampai sekarang pabrik gula Rendeng masih beroprasi menghasilkan gula jenis SHS 1A atau gula kristal putih. Selain itu pabrik ini juga dijadikan sebagai objek wisata.




DAFTAR PUSTAKA
Daliman.2012. Sejarah Indonesia Abad XIX - Awal Abad XX. Yogyakarta: Ombak
Moedjanto G. 1988. Indonesia Abad ke-20 (jilid I) : Dari Kebangkitan Nasional Sampai Linggarjati. Yogyakarta : Kanisius.
Niel, Robert van.2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
Noer Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa. Bandung : Insist.
Poesponegoro, Marwati.D. Nugroho, N. 1993 Sejarah Nasional Indonesia IV edisi ke IV. Jakarta: Balai Pustaka.
Sumber Internet:
http://id.politik-kolonial-van-den-bosch-sistem.(OnLine) (Diunduh pada hari jumat 5 Desember 2014)
http://id.potensi-daerah-kabupaten-kudus.(OnLine) (Diunduh pada hari jumat jumat 5 Desember 2014)

Artikel :
Guntur Arie Wibowo. 2014. Sistem tanam paksa dan dampaknya terhadap masyarakat pedesaan oleh
Skripsi:
 Siti Maryam. 2009. Perkembangan Pabrik Gula Rendeng Kecamatan Kota Kabupaten Kudus Tahun 1975-1997. Skripsi, Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar