DINAMIKA PERUBAHAN PEREMPUAN
JEPARA MASA KOLONIAL HINGGA PASCA KEMERDEKAAN (1880-1950 M)
Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Sejarah
Dosen
Pengampu:
Mukhammad
Shokheh
Oleh:
Shofwatul
Mala
3101413029
JURUSAN
SEJARAH
FAKULTAS
ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2015
|
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejarah
yang biasa dihadirkan selama ini mayoritas merupakan sejarah laki-laki, seolah
sejarah hanya milik para laki-laki. Mulai dari perang, politik, perjuangan,
semuanya didominasi oleh para laki-laki. Tokoh-tokoh yang selama ini
dielu-elukan juga para laki-laki. Padahal dibalik itu perempuan juga memiliki
andil. Hanya saja tak banyak disorot sehingga hanya sedikit sejarah mengenai
perempuan yang tampil dimuka umum.
Masuknya
Belanda ke wilayah Nusantara tidak memberikan keluasaan bagi perempuan pada
saat itu. ini juga dibenarkan oleh pernyataan Lucia Juningsih bagaimana kedudukan perempuan pada masa
kolonialisme Belanda:
Pada zaman penajahan Belanda yang
relative lama, bukti terjadinya kekerasan seksual tampak dari lahirnya
anak-anak indo (campuran Indonesia-Belanda) diluar nikah dan sebutan nyai
merupakan lambang omantisme seksual yang memberikan kunci suksesnya
kolonialisme Belanda di Indonesia. Sebagian nyai menjadi simpanan bangsa
Belanda karena takut atau terpaksa melayani kebutuhan seksual bangsa Belanda[1].
Dari
pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sosok perempuan masa itu
hanya dianggap sebagai pelengkap kehidupan laki-laki. Yang tak mampu melawan
akan semua perlakuan karena ketidakmampuan fisik dan psikis. Dari hal-hal
inilah yang didapat dari sejarah perempuan masa kolonial hanya peran mereka
sebagai nyai serta hanya sedikit yang menceritakan mengenai kehidupan
keseharian perempuan masa itu.
Tak
berbeda, semasa pendudukan Jepang pun perempuan masih dianggap sebelah mata,
seperti dalam pernyataan dari Den Hartog
... amat tampak bahwa posisi perempuan
Jepang pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan posisi perempuan Indos]nesia
spesialnya Jawa. Apa yang tampak adalah bahwa kaum perempuan bertempat tidak
lebih sebagai ‘benda’ yang nasibnya ditentukan oleh laki-laki. Sementara itu,
tampak suatu kesan yang kuat bahwa laki-laki Jepang bisa dengan mudah mengambil
gundik, atau mengadakan suatu pesta dengan
menghadirkan Geisha[2].
Masih
sama dengan perlakuan perempuan masa kolonial yang dianggap sebagai benda yang
masibnya ditentukan oleh laki-laki. Seorang perempuan harus menuruti suami.
Maka tak heran ketika itu tak muncul banyak sejarah tentang perempuan karena
memang tak banyak peran yang mereka ciptakan dibawah tekanan pendapat yang
sangat merugikan perempuan.
Hal-hal
yang sama juga terjadi di Jepara. Kota yang melahirkan seorang tokoh perempuan
ini juga miskin akan sumber yang khusus mengenai sejarah perempuan disana.
Mengenai bagaimana kehidupan seorang perempuan, pendidikannya, serta perannya.
Kita hanya tau dari sekelumit kisah yang ditulis oleh sang pejuang emansipasi,
Raden ajeng Kartini.
Selama
ini dalam penelitian sejarah selalu identik dengan perang, konflik, intrik
politik, dan kepentingan ekonomi. Selain itu juga berkaitan erat dengan kekuatan
dan kekuasaan yang kesemuanya dipegang erat oleh para laki-laki. Informasi
sejarah mengenai perempuan sangat terbatas, jika ada itupun sangat sedikit.
Perempuan
juga merupakan bagian dari sejarah, meski posisi mereka hanya menjadi orang
kedua setelah laki-laki. Yang jarang diketahui, peran perempuan sangat vital
dalam sejarah. Ketidakberdayaan perempuan ternyata memiliki pengaruh. Oleh
karena itu perempuan merupakan tema objek kajian yang menarik dalam sejarah.
Berdasarkan
gambaran diatas, penulis hendak mengkaji mengenai kehidupan perempuan Jepara
masa kolonial hingga pasca kemerdekaan. Ketertarikan penulis ini diberi judul “Dinamika
Perubahan Perempuan Jepara Masa Kolonial Hingga Pasca Kemerdekaan (1880 –
1950)”
1.2 Rumusan masalah
Penelitian
ini berusaha untuk mengkaji kehidupan perempuan Jepara sejak zaman kolonial
hingga pasca kemerdekaan dengan rentang waktu 1880 -1950. Rentang waktu yang
dipilih cukup panjang sengaja dipilih agar dapat dipahami perubahan-perubahan
kehidupan, tugas, gaya hidup, lingkungan, pakaian, pendidikan, serta hal-hal
yang berkaitan dengan kehidupan perempuan Jepara. Selain itu juga membuktikan
adanya paralelisme historis antara kisah-kisah kartini dengan kehidupan masa
itu
Dalam
cerita-cerita Kartini pada buku hariannya menjelaskan kehidupan perempuan
Jepara yang penuh intrik dan cerita. Namun tak pernah kita ketahui pasti
bagaimana kehidupan perempuan Jepara di masa itu. tidak ditemukannya data pasti
mengenai kehidupan perempuan Jepara masa kolonial hingga pasca kemerdekaan
membuat kita kurang memahami kehidupan perempuan masa itu.
Kiranya perlu untuk dianalisi
beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan perempuan Jepara masa itu.
mengenai bagaimana pendidikan yang mereka dapatkan? Kehidupan mereka
sehari-hari? Hingga posisi mereka dalam keluarga?
Meskipun kita dapat mengambil
beberapa cerita dari kisah yang dituliskan Kartini dalam suratnya, namun kita
masih belum bisa mencatat dengan pasti mengenai kehidupan perempuan masa itu. itulah
sebabnya penelitian ini perlu dilakuakan. Adapun rumusan masalah yang dikaji
oleh penulis meliputi berikut:
- Bagaimana perubahan kehidupan perempuan Jepara dalam aktivitas keseharian sejak tahun 1880 hingga 1950?
- Bagaimana perubahan kehidupan perempuan Jepara dalam hal pendidikan sejak tahun 1880 hingga 1950?
1.3 Tinjauan Pustaka
Penelitian sejarah khusus kehidupan
perempuan yang pernah dilakukan sebelumnya meliputi penelitian mengenai
pergerakan perempuan yang diterbitkan dalam buku Sejarah Pergerakan Perempuan
yang ditulis oleh Cora
Vreede-De Stuers, buku ini membahas gerakan perempuan
yang berawal dari tahun 1928. Pada pembahasan lain di buku ini ada juga sistem
kekerabatan hingga sistem kultural perempuan Indonesia. Selain itu masih banyak
buku yang membehasa mengenai pergerakan perempuan.
Kehidupan perempuan pernah dibahas
dalam buku Sejarah Pergerakan Perempuan yang ditulis oleh Cora Vreede-De Stuers tersebut,
namun kehidupan perempuan jepara secara khusus belum pernah dibahas dalam
penelitian khusus sebelumnya. Data yang
didapat hanya berasal dari surat-surat Kartini yang dirangkum jadi satu oleh
Armijn Pane menjadi buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Selain itu juga dalam novel
karya Pramoedya Ananta Toer yang menceritakan konflik pergumulan dalam keluarga bangsawan feodal Jawa yang
berhasil di lukiskan oleh Pram dengan sangat baik (mungkin hampir sempurna). Ia
tak sekadar melukiskan kisah romantisme seorang anak pingitan yang hendak
bergumul melawan feodalisme dan patriarki melalui tulisannya, lalu akhirnya
menyerah kalah dan mati (seperti kisah Kartini pada umumnya). Dari novel ini
dapat diambil informasi mengenai kehidupan perempuan Jepara masa itu.
1.4 Tujuan
Pembahasan
mengenai sejarah perubahan perempuan sejak masa kolonialisme hingga masa
kemerdekaan ini untuk masa kini penting untuk dkaji, karena:
- Dapat mengetahui corak dan proses perubahan yang terus berlanjut, yang akhirnya memberi bentuk pada masa kini. Dengan mengungkap perubahan kehidupan perempuan Jepara pada rentang waktu yang panjang dapat dipergunakan untuk memahami perubahan kehidupan perempuan dan implikasinya dalam masyarakat..
- Untuk mengembangkan study sejarah perempuan. Dengan mengetahui perubahan pada perempuan sejak masa kolonial akan dapat diperoleh gambaran mengenai bagaimana upaya untuk pemberdayaan perempuan pada masa kini.
- Untuk mengetahui posisi perempuan dalam sejarah Bangsa Indonesia khususnya Jepara di dalam masyarakat.
1.5 Manfaat
Penelitian
ini bermanfaat untuk:
- Memperoleh pengetahuan akan kehidupan perempuan pada masa kolonialisme hingga pasca kemerdekaan sehingga dapa memperkaya pengetahuan akan sejarah.
- Bahan masukan dalam mengambil kebijakan pemberdayaan perempuan, khususnya di Jepara dengan mempertimbangkan sisi historis yang ada.
1.6 Fokus kajian
Penelitian
sejarah memiliki karakteristik yang berbeda dengan penulisan karya ilmiah
dengan tema kajian ilmu sosial yang lain. Dalam penelitian sejarah eksplanasi
penjelasan akan menjadi lebih mudah dan terarah jika dilengkapi perangkat
pembatasan baik temporal, spasial,
maupun tematik. Hal itu sangat diperlukan karena dengan adanya batasan tersebut
sejarawan dapat dihindarkan dari hal-hal yang tidak relevan dengan permasalahan
yang akan ditulis. Jika piranti ini tidak digunakan, akibatnya analisis yang
dihasilkan bersifat lemah. Batas spasial, batas temporal dan batas tematik
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Lingkup
Spasial
Dalam penelitian ini
yang menjadi batas Spasial atau batas ruang adalah Kabupaten Jepara. Daerah ini
diambil sebagai batasan spasial karena daerah tersebut merupakan tempat dimana
Kartini dilahirkan. Di Kabupaten Jepara Kartini menjelaskan kehidupan
masyarakat disana.
b. Lingkup
temporal
Dalam penelitian ini
yang menjadi batas temporal adalah tahun 1880 – 1950. Tahun 1880 dipilih
sebagai awal karena pada tahun itu terjadi system tanam paksa hingga politik
etis. Meski Jepara bukan mayoritas tempatnya adalah perkebunan, tapi adanya
tanam paksa juga berpengaruh bagi Jepara, begitu juga untuk perempuan di Jepara.
Selain itu juga dipilihnya tahun itu karena tahun-tahun yang diceritakan
Kartini juga meliputi tahun tersebut. Batas akhirnya dipilih 1950 karena agar
rentang waktunya lebih panjang sehingga dapat lebih lengkap dalam penngkajian
rumusan masalah dalam penelitian ini.
1.7 Metode penelitian
Untuk
memperjelas penelitian yang dilakuakan, digunakan beberapa metode untuk
mendukung penelitian.
Adapun
langkah-langkah yang akan penulis lakukan dalam melakukan penelitian, seperti
yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah sebagai berikut:
1. Heuristik,
yaitu tahapan untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang dianggap relevan
dengan permasalahan yang dipilih. Cara yang dilakukan yaitu dengan mencari dan
mengumpulkan sumber, sumber tersebut berupa buku dan artikel-artikel yang
berasal dari perpustakaan jurusan sejarah serta perpustakaan umum Kabupaten
Daerah Jepara. Selain sumber itu juga ada sumber-sumber dokumen berupa
catatan-catatan, surat, serta foto yang didapat dari arsip daerah Jepara
ataupun dari museum Kartini di Jepara. Penulis juga berkesempatan untuk
melakukan observasi ke kediaman-kediaman warga yang masih memiliki
sumber-sumber mengenai kehidupan perempuan pada masa yang diteliti oleh
penulis.
2. Kritik,
yaitu tahap menganalisi secara kritis terhadap sumber-sumber sejarah yang telah
didapat pada tahap heuristic. Kritik dilakuakn pada sumber primer maupaun
sumber sekunder, sehingga diperoleh fakta sejarah yang otentik. Ada dua macam
kritik yang dilakukan pada tahap ini yaitu kritik eksternal dan kritik
internal.
3. Interpretasi,
yaitu memberikan penafsiran terhadap fakta-fakta yang diperoleh. Pada tahap ini
penulis menginterpretasikan fakta-fakta yang telah diperoleh. Setelah fakta tersebut dikritik terlebih
dahulu keontetikannya. Tahapan ini diharapkan mampu menjawab terhadap permasalahan
yang dikaji dalam tulisan ini.
4. Historiografi,
yaitu tahap penulisan sejarah. Tahap ini merupakan tahap akhir dalam metode
penelitian sejarah. Pada tahapan ini, setelah sumber didapat, dikritik serta
diinterpretasikan, kemudian panulis menyusun dalam bentuk tulisan. Penulisan
tersebut harus memenuhi tatanbahasa penulisan yang baik dan benar sesuai dengan
kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Universitas Negeri Semarang.
BAB
II
GAMBARAN
UMUM KOTA JEPARA
2.1 Jepara kurun waktu 1880-1950
Jepara
dan Hiruk-pikuknya
Jepara merupakan suatu
kabupaten yang memiliki pelabuhan terbaik kerajaan Demak. Tak banyak informaasi
yang didapat mengenai Jepara kurun waktu 1800-an ini. Dalam beberapa bagian
pada surat-surat Kartini dijelaskan mengenai keadaan Jepara. Pramodya dalam
bukunya yang berjudul Panggil Aku Kartini Saja menjelaskan
…
ia ingin mengulurakan tangannya yang hidup dalam derita dan kemelaratan, dalam
ketidaktahuan. Tapi apakah yang bisa diberikan oleh seseorang tanpa kebebasan
kepada orang-orang yang sendiri hidup bebas? Tapi kartini tau akan
kekuatannya.akan kehidupannya lebih dari orang lain. Ia bisa berikan pada
mereka, banyak, terlalu banyak. ..[3]
Dari pemaparan tersebut
dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa pada masa itu rakyat Jepara sedang berada
dalam kondisi kemelaratan. Hal tersebut berbalik dengan kondisi pada masa
pemerintahan Ratu Kalinyamat. Masa itu
perdagangan maju karena sangat berkembangnya pelabuhan di Jepara.
Masa tahun 1800-an
memang merupakan masa tanam paksa yang sedang berkecamuk di nusantara.
Undang-undang
Agraria tahun 1870 membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan
para pengusaha dijamin. Hanya orang-orang Indonesialah yang dapat memiliki
tanah. Tetapi orang-orang asing diperkenankan menyewanya dari pemerintah sampai
selama tujuh puluh lima dan dua puluh tahun (tergantung pada persyaratan hal pemilikan tanah).
Perkebunan swasta kini dapat berkembang di Jawa maupun di daerah-daerah luar
Jawa.[4]
Dengan adanya
Undang-undang Agraria tersebut diharapkan dapat sesuai dengan tujuan awal Cultutre
Stelsel yaitu dapat menumbuhkan budaya menanam. Namun kenyataannya budaya
tersebut dibelokkan menjadi tanam paksa karena kenyataan yang berlaku merupakan
adanya pemaksaan dan penyalahgunaan kekuasaan para pembesar Cultutre Stelsel
masa itu. hal ini terjadi pula di Jepara. Maka dari itu masa tahun merupakan
tahun kemelaratan dimana rakyat dipaksa untuk kerja dan kerja.
Pada abad ke-19 R.M.A.A. Kusoemo Oetaya diangkat sebagai Bupati tepatnya
tahun 1905. Masa pemerintahannya bersamaan dengan munculnya pergerakan nasional
yang menandai kebangkitan Bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Kemudian
Soekahar diangkat tahun 1927. Masa pemerintahan bupati ini berakhir bersamaan
dengan jatuhnya Hindia Belanda ketangan Militer Jepang bulan
Maret 1942, yaitu beberapa waktu setelah tentara Jepang berada di Jepara. Pada
awal kekuasan Jepang,
Bupati Jepara dipercayakan pada R.A.A. Soemitro Oetoyo yang menjabat hingga
awal kemerdekaan, yaitu hingga bulan Desember 1949.
Sebelum abad tersebut,
tampuk kepemimpinan Jepara dipegang oleh dipimpin oleh Adipati Citro Sumo III yang kemudian digantikan oleh Citro
sumo IV, Citro Sumo V, dan Adipati Citro Sumo VI. Setelah Adipati Citro Sumo
VI, Jepara kemudian dipimpin oleh Temenggung Cendol. Namun jabatan ini tidak
lama, karena Setelah Adipati Citro Sumo VI kembali dari Tuban tahun 1838, ia
mendapatkan kepercayaan untuk menjabat sebagai Bupati Jepara yang kemudian di
lanjutkan oleh Adipati Citro Sumo VII. Pada tanggal 22 Desember 1857, ia
digantikan oleh iparnya yang bernama Raden Tumenggung Citro Wikromo, yang
kemudian berturut-turut di gantikan oleh K.R.M.A.A. Sosroningrat
BAB III
KEHIDUPAN
PEREMPUAN JEPARA KURUN WAKTU 1880-1950 M
3.1 Kedudukan Perempuan Jepara
Pembicaraan tentang sejarah memang cukup menarik bagi banyak
orang. Bahkan, sementara ahli memberi pernyataan bahwa manusia tidak mungkin
dapat meninggalkan sejarahnya. Mudah dipahami bahwa pernyataan itu pada intinya
mengandung makna bahwa sejarah atau perjalanan hidup pada masa lampau
sekelompok manusia beserta wilayah yang dihuninya adalah sangat penting. Sifat
pentingnya itu bukan semata-mata karena sejarah telah mampu mengantar kelompok
manusia itu sampai ke kehidupannya pada masa kini serta memungkinkan mereka
dapat meneruskan perjalanannya ke masa-masa mendatang, tetapi lebih dari itu.
Sejarah juga mampu menjadikan kelompok manusia yang bersangkutan memiliki
cita-cita mengenai kualitas kehidupan dan dirinya yang ingin dicapai atau
diwujudkannya. Sudah tentu dengan syarat, kelompok sosial tersebut harus bijak
lestari dalam mengambil hikmah dari perjalanan sejarah yang telah dilaluinya.
Ingat pulalah ungkapan sangat bermakna yang pernah terdengar, yang pada
hakikatnya menyatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu
menghargai sejarahnya.
Dari sejarah yang ada sangat jarang ditemukan sejarah khusus
tentang perempuan, padahal sangat menarik jika membahas sejarah perempuan,
khususnya di Jepara. Yang semua tahu seorang perempuan hebat abad ke 19 lahir
disana. Kartini, lewat cerita-cerita yang dia tuliskan dalam buku kumpulan surat-suratnya
Habis Gelap Terbitlah Terang ini mengulas tentang hal itu.
Kehidupan seorang perempuan tak dapat se-leluasa seorang
laki-laki. Perempuan dianggap sebagai seorang yang tak dapat bertingkah
sembarangan, semua ada aturan dan tatanannya. Dalam hal kedudukan, laki-laki
selalu lebih tinggi dari perempuan.
Hal tersebut tak muncul begitu saja. Semua itu merupakan
adat yang berlaku sejak zaman dahulu, juga sejak masa Kartini. Terlebih masa
itu sangat terlihat perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Sebuah
ketimpangan yang amat nyata di depan mata.
Baik ibu kandungnya maupun ibu tuanya adalah wanita kuno.
Perbedaannya adalah, ibu tua seorang wanita ningrat kuno yang mendudukkan anak
lelaki lebih tinggi daripada anak perempuan (Toer, 1899:60).
Seorang laki-laki lebih doiunggulkan dari perempuan, hal ini
tak dapat dipungkiri kebenarannya. Hal itu senada dengan apa yang tertera dalam
buku Sejarah Perempuan Indonesia karya Cora Vreede-De Stuers
Kedudukan kaum perempuan dalam
kehidupan sosial diatur oleh tradisi; hak dan kewajiban kaum perempuan lebih
rendah dibandingkan dengan kaum lelaki. Kebiasaan yang sudah berlangsung lama
ini masih saja terjadi dan dibuktikan oleh banyak pengamat[5].
Perempuan hanya mampu
ikut dalam alur yang telah dibuat oleh alam, tanpa mampu melawan atau
memberontak. Seorang yang menyalahi kebiasaan justru dianggap tidak sesuai
dengan norma adat kebiasaan di tempat itu. tradisi yang berlaku terlalu
mengikat seorang perempuan untuk berada di posisi kedua setelah laki-laki.
Tradisi tersebut diperkuat dengan hokum agama yang terkadang dianggap sebagai
penggekang kebebasan perempuan. Perempuan tak diperkenankan menjadi imam atas
laki-laki. Seharusnya hal itu tak ditelan mentah-mentah. Perempuan juga dapat
berkarya namun tetap dalam koridor seorang perempuan. Namun apalah daya, tak
semua tradisi dapat diberi asumsi seperti itu.
Lewat surat-suratnya
tersebut Kartini banyak mengungkapkan keadaan kaumnya dan juga
harapan-harapannya tentang upaya meningkatkan derajat kaum wanita Indonesia.
Kartini juga mengungkapkan tentang ketertinggalan keadaaan wanita Indonesia, khususnya
menyorot pada Jepara di sebagian besar suratnya. Hal ini disebabkan oleh aturan
adat dan budaya jawa yang menempatkan wanita dalam posisi yang inferior bila
dibandingkan dengan pria. Dalam konstruk budaya Jawa peranan wanita hanya
berkisar pada tiga kawasan yaitu di sumur (mencuci dan bersih-bersih), di dapur
(memasak), dan di kasur (melayani suami). Atau dengan perkataan lain peran
perempuan adalah macak, masak, dan manak. Lebih jauh gambaran perempuan Jawa adalah
sebagai konco wingking, yaitu sebagai pembantu yang melayani suami untuk
urusan belakang. Karena peranannya yang marjinal tersebut maka wanita tidak
perlu mendapat pendidikan yang tinggi[6].
Situasi pada masa itu
sudah dibaca oleh Kartini yang digambarkan dalam surat-suratnya dengan penuh
kepahitan Kartini menggambarkan kehidupan keluarganya dan semua kekacauan yang
terjadi di sekitar kehidupannya: pingitan terjadi pada gadis-gadis yang
dijodohkan, kehidupan perempuan ruang tangga yang hanya bermalas-malasan dan
dibiarkan menjadi bodoh (tidak tahu apa-apa). Dalam beberapa suratnya Kartini
menjelaskan keinginannya untuk menjadi guru sehingga dapat melahirkan generasi
muda yang baru, dalam suratnya pada 11 Oktober 1901, ia menulis:
Menurut
Ayah, menjadi gurulah yang terbaik bagi
kami… dimana lagi aku dapat menyebarkan cita-citaku secara lebih baik
daripada disitu, sebagai pendidik angkatan muda yang akan menjadi perempuan dan
ibu masa depan?...
Adikku
Kardinah yang akan memasuki lapangan pendidikan dan telah memilih keahlian dalam
kerumahtanggaan dan masak-memasak… dan di mana urusan rumah tangga ada di
tangan perempuan, disitu tentu orang harus mulai mengajar perempaun agar hemat
dulu, jika orang ingin melihat rakyat hemat[7].
Pingitan yang terjadi
pada gadis yang telah menginjak usia 12 tahun terjadi pada kalangan bangsawan,
berbeda dengan kalangan rakyat jelata dimana gadis tetap harus membantu
orangtuanya ke ladang.
Padahal seharusnya
perempuan harus memiliki modal berupa pendidikan karena mereka akan melahirkan
dan membesarkan generasi penerus bangsa. Seharusnya mereka memiliki bekal untuk
menjadikan generasi yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Namun semua itu
tak di dapatkan perempuan masa Kartini.
3.2 Pakaian serta atribut
Kain dan kebaya
Pakaian merupakan
sebuah identitas dari sebuah peradaban suatu tempat atau masa tertentu. Dalam
hal ini juga di Jepara dalam kurun waktu tersebut. Dalam beberapa foto dan
gambar perempuan Jepara abad ke-19 awal, menampilkan sosok perempuan dengan
bawahan berupa kain batik atau yang biasa dikenal dengan jarit atau jarik.
Kain ini biasa berukuran sekitar 1,5 x 2 meter yang terbuat dari kain yang
dibatik, berupa batik tulis atau batik cap. Cara mengenakan kain ini tanpa
mendapat bantuan benang jahit juga penjepit. Jadi lembaran Jarit dililitkan
memutar sepanjang pinggul hingga kaki. Memang terlihat sangat anggun, karena
itulah esensi dari seorang perempuan, selalu terlihat indah. Biasanya untuk
menjaga agar kain jarit tersebut
tidak merosot, dapat digunakan bengkong. Bengkong dililitkan memutar di
piggang sehingga Jarit di pinggang menjadi kencang dan tidak mudah
melorot. Bengkong di beberapa
daerah juga disebut Kendhit, Udet, dan Angkin. Bengkong ini
biasanya berbentuk kain selebar 20 cm dengan panjang mencapai 2 meter. Bengkong
juga berfungsi menyangga punggung danmenjaga bentuk tubuh perempuan, jadi
perempuan masa yang mengenakan bengkong cenderung memiliki bentuk tubuh
yang ramping dan tegap karena tiap hari disangga oleh bengkong tersebut.
Adapun baju yang
dikenankan merupakan kebaya yang biasa terbuat dari kain brokat yang dibuat
baju berkancing depan. Biasanya baju kebaya ini berpotongan lengan panjang dan
agak membentuk tubuh si pemakai. Pakaian ini dikenakan setiap hari oleh para
perempuan. Pada hakikatnya, pakaian ini sama antara kaum bangsawan dengan
rakyat jelata, hanya yang membedakan biasanya pada jenis bahan yang digunakan
serta kebersihan dari pakaian tersebut.
Namun gaya berpakaian seperti diatas tak
bertahan sampe sekarang. Setelah tahun 1900 an terlebih 2000-an, perlahan mulai
berubah. Masyarakat, terutama yang golongan muda perlahan berpindah ke tren mengikuti
pengaruh orang-orang Eropa yang mengenakan rok dan dress. Rok dan dress
rata-rata meniru gaya dari perempuan Eropa. Dres berupa baju bahan kain segala
jenis dengan potongan lengan pendek dan rok dibawah lutut dikenakan perempuan
pribumi dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada awal 1950-an pakaian jarit atau
jarik ini masih terlihat dipakai
oleh beberapa perempuan Jepara.
Gaya Rambut
Pada awal 1800 an gaya
rambut perempuan Jepara rata-rata menggunakan sanggul dengan rambut panjangnya.
Perempuan masa itu dituntut untuk dapat menata rambut sendiri, karena mayoritas
memiliki rambut panjang dianggap sebagai suatu hal yang mutlak bagi seorang
perempuan khususnya di daerah Jawa. Semua rambut disisir kearah belakang dan
diikat dengan gulungan rambut pula di belakang kepala. Sebuah hal yang tak
biasa jika perempuan menggerai rambutnyya. Jika perempuan yang mengenakan
jilbab, jilbab segiempat panjang yang disampirkan tanpa diikat. Namun sama
seperti gaya pakaian, perlahan gaya tersebut mulai pudar karena keinginan
masyaarakat untuk mengikuti orang Eropa yang dianggap lebih sederhana. Potongan
rambut sebahu bahkan lebih pendek digerai begitu saja tanpa ada ikatan menjadi
tren pada tahun 1900 an. Namun perubahan tersebut tak beegitu kentara di
lingkungan rakyat jelata. Kain dan kebaya serta rambut yang disanggul ke
belakang tetap mereka kenakan sehari-hari.
Alas Kaki
Bagi rakyat jelata
menggunakan alsa kaki bukanlah hal yang biasa dilakukan. Para perempuan yang
berprofesi sebagai ibu rumah tangga biasa bertelanjang kaki kemanapun mereka
pergi. Hal ini juga dilakukan oleh para gadis saat ke ladang, kebun, atau ke
sawah. Mereka biasa tidak mengenakan alas. Berbeda dengan para bangsawan atau
yang juga sering disebut sebagai kaum priyayi. Sandal slop selalu
mereka kenakan untuk melindungi kaki mereka. Sandal slop ini hampir sama
dengan milik orang-orang Cina. Bagian belakang kosong dan bagian depan tertutup.
Seiring dengan
berjalannya waktu, menginjak tahun 1900 an perubahan pun terjadi. Alas kaki
berupa sandal dengan berbagai macam bentuk mulai menyerbu nusantara begitu juga
Jepara. Para perempuan yang tidak biasa dengan alas kaki juga telah
mengenakannnya karena dirasa perlu untuk melindungi kaki mereka.
Perubahan dalam hal
pakaian tidak begitu berpengaruh pada perempuan golongan menengah ke bawah
terutama yang di pedesaan. Mereka tetap mengenakan kain dan kebaya seperti sebelumnya.
Pergeseran pakaian ini lebih terasa pasca kemerdekaan, itupun lebih banyak pada
golongan muda di kalangan bangsawan.
3.3 Perempuan sebagai Seorang Istri
System kekerabatan Jawa
adalah bilateral atau parental, berarti tidak membedakan antara keturunan lewat
ayah atau ibu. Dalam system Jawa ini pun menarik perhatian, bahwa unit yang
sangat penting adalah keluarga kecil, nucleur family, yang terdiri dari
orang tua dan anak-anaknya. Pengantin baru juga umumnya tidak tinggal bersama
(neolocal). Cara hidup tersebut secara umum ditemukan, sekalipun dengan
perbedaan disana-sini menurut tingkatan dalam masyarakat.
Dalam
konstruk budaya Jawa peranan wanita hanya berkisar pada tiga kawasan yaitu di
sumur (mencuci dan bersih-bersih), di dapur (memasak), dan di kasur (melayani
suami). Atau dengan perkataan lain peran perempuan adalah macak, masak, dan
manak. Lebih jauh gambaran perempuan
Jawa adalah sebagai konco wingking, yaitu sebagai pembantu yang melayani
suami untuk urusan belakang. Karena peranannya yang marjinal tersebut maka
wanita tidak perlu mendapat pendidikan yang tinggi
Baik laki-laki maupun
perempuan kebanyakan merupakan staf rekan kerja yang setaraf dalam lingkungan
masyarakat.banyak wanita yang memiliki peekerjaan sendiri. Hal ini tampak di
keluarga yang kurang berada, namun hal itu terjadi dalam kurun waktu 1900 an.
Namun sebelum itu, sebuah batas perbedaan terbentang dikedua sisi tersebut.
Sebelumnya perempuan tak berdaya.
… karena tiap lelaki setiap kali dapat
saja pulang ke “rumah membawa pempuan lain” sedang istri sebelum ini “harus
mengakui perempuan itu sebagai istri lakinya yang sah, harus diterimanya
sebagai saingannya”.[8]
Perempuan menerima madunya tanpa adanya pertanyaan. Mereka rela
sebagai istri yang kesekian dari yang kesekian. Mereka rela demi mengabdi pada
sang suami. Karena dianggap bahwa perempuan adalah pihak yang lemah. System
patriekal merupakan salah satu factor dari adanya anggapan perempuan adalah
pihak kedua yang tak dapat berbuat banyak dalam hidup ini.
Hal lain yang menjadi
perhatian seperti yang diungkap Kartini dalam suratnya tentang ketidakadilan
terhadap perempuan adalah berkembang suburnya poligami yang merupakan salah
satu bentuk kesewenang-wenangan pria terhadap wanita. Kartini juga merasakan
betapa besar penderitaan dan pengorbanan kehidupan wanita yang dimadu oleh
suaminya. Hal ini berkembang pesat pada masa Kartini khususnya di lingkungan
bangsawan. Hal ini pun dilakukan oleh orang tua Kartini, abang Kartini dan para
raden mas di lingkungan Kabupaten Jepara lainnya. Hal penting yang menjadi
perhatian adalah adnya dorongan dari orang tua agara anknya mendapat suami yang
berasal dari kaum bangsawan dengan tujuan untuk memperoleh kehormatan dan
kemewahan[9].
Bukan hanya di kalangan
bangsawan, poligami terjadi terjadi dikalangan rakyat. Namun tak seperti di
kalangan bangsawan, poligami di rakyat lebih kepada perempuan sebagai objek
poligami, karena perempuan dengan sukarela menjadi istri dari para bangsawan
dikarenakan kedudukan dan gelar yang mereka miliki. Para perempuan itu pun
menerima begitu saja dengan status istri
poligami tanpa adanya protes. Hal ini juga mendapat dukungan dari pihak
keluarga yang tak jarang memaksa putrinya untuk melakukan pernikahan tersebut.
Kritik pedas
dilontarkan Kartini terhadap kawin paksa bahkan poligami yang timbul karena
ketakutan yang dirasakannya disebabkan oleh kebiasaan-kebiasaan matrimonial
kelas atas. Hal tersebut diungkapkan Kartini lewat suratnya kepada Zeehandelaar
pada 23 Agustus 1900:
Jalan
hidup anak perempuan Jawa telah dibatasi dan dibentuk menurut satu pola yang
sama. Satu-satunya yang boleh kami mimpikan adalah hari ini atau esok menjadi
istri yang kesekian bagi seorang lelaki. Aku menentang mereka yang menunjukkan
ketidakbenaran ini. Kaum perempuan disini tidak boleh menyatakan keinginan
apapun; mereka begitu saja dikawinkan … dikawinkan dengan siapa saja yang
dianggap baik oleh kedua orang tuanya…
Tidak
setiap orang islam mempunyai empat orang istri, tetapi dalam dunia kami
perempuan yang telah kawin mengetahui bahwa dia bukan satu-satunya istri
suaminya, dan hari ini atau besok suami tercinta dapat saja membawa pulang
seorang perempuan untuk menjadi temannya, yang memiliki hak sama atas suaminya…
mereka sudah terbiasa dengan keadaaan seperti itu sehingga tidak melihatnya sebagai
suatu yang aneh. Tetapi itu bukan berarti mereka tidak sangat menderita karena
itu. hampir tiap perempuan yang aku kenal disini mengutuk hal lelaki itu. namun
kutukan itu tak berguana, seharusnya kami bertindak[10].
Para lelaki dengan
leluasanya dapat melakukan poligami, mereka memiliki hak penuh untuk melakukan
poligami bahkan tanpa seizing istrinya. Hal ini merupakan bukti nyata
perwujudan bahwa masa itu perempuan benar-benar tak memiliki hak untuk bersuara
dan bertindak. Semua kehendak dimiliki oleh sang suami.
3.4 Perempuan dan Kehidupan Ekonomi
Feminisme liberal
muncul pada abad ke-18, gerakannya menuntut persamaan pendidikan bagi perempuan
dan laki-laki. Dasar pemikirannya perempuan tidak tahu hak-haknya di bidang
hokum karena pendidikannya rendah. Maka sumsinya apabila pendidikan perempuan
meningkat, maka mereka akan mudah diajak untuk menyadari hak-haknya. Gerakan
feminism ini berkembang pada abad 19 mulai memperjuangkan hak sebagai warga
Negara dan hak di bidang ekonomi. Mereka menuntut kesempatan sama bagi
perempuan dan laki-laki. Pada abad ke-20 berkembang menjadi tuntutan perlakuan
yang sama terhadap perempuan dan laki-laki, jadi penghapusan diskriminasi
terhadap perempuan untuk mengubah system masyarakat yang mengikat perempuan[11]
Keberadaan tenaga kerja
di masa kolonial diatur dalam Ordonance no.647 tahun 1925 tentang tenaga kerja
anak-anak dan perempuan. Tahun 1969 baru keluar Gouvermen Declared Act no.14
dan Article no.10 Ac no.144 tahun 1969 yang mengatur: a. standar keselamatan,
b.standar keselamatan kerja dan kesehatan dalam industry, c. standar tenaga
kerja dan kompensasi kesehatan dan rehabilitasi
dalam kecelakaan industri[12].
Kebijakan tersebut seharusnya menjadi jaminan akan keselamatan perempuan di
luar rumah tangganya ketika ia tidak mendapat perlindungan dari suaminya.
Namun yang disayangkan
kembali,peraturan ini baru muncul pada akhir masa tanam paksa. Padahal ketika
tanam paksa dipungkiri atau tidak, banyak pekerja yang masih merupakkan
anak-anak pada masa itu.
Pada dasarnya sejak 1832 M ibu rumah
tangga di Jepara sudah terlibat dalam kegiatan penenunan. Adanya hal ini cukup
dapat memberi dampak menguntungkan bagi industry rumah tangga di Jepara meski
belum imbangnya antara pekerjaan dan
upah yang ada[13].
Pada era selanjutnya yaitu 1859 telah ada industry yang hanya dikelola oleh
para perempuan, yaitu pembibitan kapas di beberapa distrik di Keresidenan
Jepara. Meski industry tersebut pada dasarnya kurang cocok di Jepara.
Kerajianan tenun dan batik tulis yang dilakukan terus bertahan hingga 1876
semakin banyak dijumpai di Keresidenan Jepara, meski permintaan pasar pun tak
menunjukkan permintaan yang melonjak. Pada 1881 masih banyak istri petani yang
memiliki kebiasaan membuat baju pada musim panen. Kebanyakan baju ini ditenun
dan ditanam sendiri oleh petani atau dibeli di pasar. Peralatan pemintalan dan
penenunan dibuat sendiri oleh mereka[14].
Perempuan Jepara telah memiliki
pekerjaan dan kesibukan tersendiri sejak lama, hal ini terus berkembang hingga
sekarang khususnya dalam industry kreatif di Jepara.
BAB IV
PENDIDKAN
PEREMPUAN JEPARA KURUN WAKTU 1880-1920 M
4.1 Awal Mula Sekolah di Jepara
Tahun 1899 hanya ada
satu sekolah di Jepara, yaitu Sekolah rendah Belanda. Sekolah ini diperuntukkan
bagi anak-anak Belanda serta kaum bangsawan pribumi. Meski sebelumnya telah ada
Sekolah Melayu yang didirikan sejak tahun 1849
namun tutup ketika tahun 1889.
4.2 Interaksi di Lingkungan Sekolah
Karena pada dasarnya
Sekolah Rendah Belanda merupakan sekolah yang dikhususkan untuk anak-anak Belanda.
Jika di Menado “Menadonesche School” diskriminasi terjadi berasal dari latar
belakang pekerjaan orangtuanya, setelah upacara anak diurutkan berdasarkan
ekerjaan orang tua. Hal lain juga terjadi, perlakuan tak adil pun muncul pada
anak selain keturunan Eropa. Diskriminasi berdasarkan warna kulit. Presensi
yang ada berdasarkan warna kulit dari masing-masing siswanya. Diawali siswa
yang berkulit putiih, hingga siswa yang berkulit hitam (pribumi). Namun belum
jelas apakah hal tersebut juga terjadi di Jepara.
Bahasa yang digunakan
sebagai bahasa pengantar juga merupakan Bahasa Belanda yang tak biasa digunakan
oleh rakyat pribumi, hal ini juga yang menjadi penghalang jika ada keinginan
untuk bersekolah dari anak-anak pribumi.
Dari sekolah yang ada
diatas, kemungkinan untuk perempuan bersekolah sangat kecil, hanya perempuan
anak kaum bangsawan Etropa dan Bangsawan Jepara yang dapat bersekolah. Namun
bagi rakyat jelata tentu bukan hal yang mudah untuk masuk instansi ini.
4.3 Munculnya Sekolah-sekolah
Dalam sebuah arsip yang
dikeluarkan oleh Badan Arsip Pusat Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyebutkan
adanya bukti perenovasian beberapa sekolah di Jepara pada tahun 1893. Hal ini
menunjukkan perkembangan dunia pendidikan Jepara. Tapi hal tersebut pun tak
dapat dipastikan bahwa sekolah tersebut adanya siswi perempuan di sekolah
tersebut.
Dikutip dari R.
Soetomo, Perkawinan dan Perkawinan Anak-anak, 1928 hal.38 dalam buku
Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia menyebutkan bahwa Kartini beruntung
karena mendapat seorang teman seperti Abendanon, orang berkebangsaan Belanda
yang bertugasa pada masa tanam paksa. Abendanon merupakan bangsawan Belanda
yang bertugas mengawasi tanam paksa di Jepara.
Abendanon mendorong
Kartini mendirikan kelas kecil di rumahnya, dan dengan penuh semangat Kartini
menceritakan usaha awalnya kepada Nyonya Abendanon melalui surat yang
ditulisnya pada 4 Juli 1903:
Sekolah kecil kami
sudah 7 orang muridnya dan setiap hari ada saja yang mendaftar di sini!...
Kemarin
seorang ibu muda menemuiku. Dengan sangat menyesal ia mengatakan bahwa ia
tinggal jauh sekali dari kami; ia sendiri ingin sekali belajar di tempat kami…
karena ia tidak dapat mencapainya maka ia ingin memberikan apa ia tidak dapat
diperolehnya itu kepada anaknya… Anak-anak itu datang ke sini empat kali dalam
sepekan…Mereka belajar menulis dan membaca, kerajinan tangan dan memasak…
Beruntung kami masih mempunyai sedikit peralatan menjahit; selama persediaan
cukup, mereka mendapatkan semuanya secara gratis[15].
Namun tak lama dikelola
Kartini, beberapa pecan setelah surat itu terkirim Kartini dinikahkan dengan
Bupati Rembang dan akhirnya pada 1904 Kartini meninggal dunia.
Sekolah untuk perempuan
yang didirikan pertama di Jepara dilanjutkan hingga sekarang menjadi SMP N 5
Jepara. SMP ini termasuk sekolah tertua di Jepara. Sejak awal berdirinya SMP 5
dahulu merupakan sekolah kejuruan rintisan Kartini yang dinamakan SKP (sekolah
keputrian) dan tak lama berselang berubah menjadi SKKP (Sekolah Kesejahteraan
Keluarga Pertama). Dimana materi yang dikhususkan hanya untuk siswi putrid,
seperti menjahit, memasak, membuat jajanan dll. Kemudian pada tahun 1991
berubah menjadi SMP N 6 Jepara, dan materi yang diajarkan berupa materi umum
serupa dengan sekolah menengah pada umumnya. Baru pada 2003 sekolah ini berubah
nama menjadi SMP N 5 Jepara.
Selain sekolah formal,
pada tahun 1884 telah berdiri sebuah pondok pesantren di Jepara, yaitu Pondok
Pesantren Roudlotul Mubtadiin yang berlokasi di Desa Balekambang Gemiring Lor
Kecamatan Nalumsari Jepara. Pondok pesantren ini mengajarkan tentang membaca,
menulis dan mengkaji Al-Qur’an serta pemahaman tentang islam. Pondok pesantren
berupa pondok salaf atau salafi yang mengajarkan juga tentang membaca dan
mempelajari kitab kuning yang menjelaskan tentang agama islam.
Sesuai yang telah
berlaku sebelumnya, dengan adanya pondok pesantren ini dapat dikatakan telah
ada pendidikan bagi perempuan meski dalam bnetuk pendidikan agama islam. Dalam
pendidikan di pondok pesantren biasanya
pembelajaran dilakukan secara terpisan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan
biasa diajar oleh istri dari Kyai atau yang biasa disebut dengan Nyai atau Bu
Nyai. Namun tak dipungkiri juga
perempuan tetap diajar oleh sang Kyai secara langsung.
Dari pondok pesantren
ini perempuan mendapat pendidikan meski tidak secara formal. Dengan modal agama
tersebut perempuan Jepara memiliki bekal untuk membesarkan anak-anaknya melalui
pengetahuan agama.
Baru pada tahun 1960
berdiri sekolah formal negeri yaitu SMA N 1 Jepara. Ini merupakan sekolah
menengah atas pertama di Jepara.
4.4 Sekolah dan Perempuan
Tahun 1880 an, di
Jepara perempuan masuk sekolah merupakan
suatu hal yang tak wajar bahkan dianggap
tabuh dan bukan hal yang wajar. Tempat perempuan memanglah di rumah membantu
keluarga. Karena wanita harus mengerjakan pekerjaan rumah. Jika seorang
perempuan bersekolah, tentu mereka harus meninggalkan rumah dan pekerjaan
mereka di rumah, maka hal itu dianggap
sebuah penghianatan jika seorang
perempuan pergi ke sekolah, jangankan ke sekolah, bahkan ke tempat lain pun tak
semudah itu untuk keluar rumah (Toer, 1889:60).
Karena
hal tersebutlah tak ditemukan dengan mudah adanya perempuan yang bersekolah,
sekolah bukan tempat untuk seorang perempuan. Tak sepatutnya perempuan
meninggalkan rumahnya untuk bersekolah.
Hal yang berlawanan
terdapat pada rakyat jelata. Jika kaum-kaum feodal dan bangsawan, perempuan
merupakan hal yang tabuh untuk keluar rumah, namun bagi rakyat jelata justru
seorang perempuan itu justru harus keluar rumah untuk membantu pekerjaan di
sawah, ladang atau di pasar. Dikarenkan itu maka perempuan dari rakyat jelata
juga tidak diperkenan kan untuk sekolah karena harus membantu orang tuanya.
Di dalam masyarakat
agraris pekerjaan merupakan pekerjaan keluarga[16].
Karena hakikat sebuah keluarga adalah team work. Seluruh organisasi petani
ditentukan oleh ukuran dan komposisi keluarga petani dan tuntutan-tuntutan konsumsinya
dengan jumlah tangan yang bekerja[17].
Dari sini dapat
dipahami mengapa perempuan dari golongan rakyat jelata tak diperbolehkan
berangkat sekolah karena peran mereka dalam keluarga pada masa itu. Mereka
memiliki tanggungan untuk membantu keluarga di lading, kebun, dan sawah. Maka
tak heran adanya pelarangan sekolah untuk anak perempuan. Meskipun pada
dasarnya laki-laki juga mendapat pembagian tugas untuk membantu tugas rumah,
namun laki-laki lebih fleksible dalam mengerjakannya, sehingga mereka tetap
dapat bersekolah, hal ini tidak berlaku untuk perempuan.
Dalam surat Kartini
yang ditulis pada 4 oktober 1902 dan ditujukan pada professor G. K. Anton dan
Nyonya dari Jena yang telah mengunjungi Jawa, Kartini menulis:
Jika
kami menginginkan pendidikan dan pengajaran bagi kaum perempuan… itu bukan
karena kami ingin menjadikan perempuan menjadi saingan laki-laki… tetapi…kami
ingin menjadikan perempuan lebih cakap melakukan tugas besar yang diberika Ibu
Alam ke tangannya agar menjadi ibu: pendidik umat manusia yang utama… kepada
kaum ibu, pusat kehidupan rumah tangga, dibebani tugas besar mendidik
anak-anaknya… untuk keluarga besar, keluarga raksaksa yang bernama masyarakat, karena
anak-anak itu suatu waktu akan menjadi anggotanya. Untuk inilah kami meminta
pendidikan dan pengejaran bagi gadis-gadis[18]
Pendidikan sangat dibutuhkan
perempuan karena mereka akan membesarkan anak-anaknya. Namun sayang hal ini
tidak tersadari pada masa itu. pendidikan masih dianggap hal yang tabuh bagi
perempuan karena perempuan tidak seharusnya menyamai seorang laki-laki.
Perempuan dianggap mahluk yang
tidak seharusnya mendapat pendidikan. Kondisi perempuan diharuskan beradda di
rumah untuk mengurus keluarga, namun hal tersebut tak dibekali dengan
pengetahuan lebih dari seorang ibu rumah tangga.
BAB
V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
sejarah
yang selama ini tercatat pada umumnya lebih banyak mencatat tentang para
laki-laki dan perannya. Tak banyak yang menjelaskan tentang perempuan.
Padahal dibalik itu semua terdapat banyak sejarah
yang tertoreh dari seorang perempuan, salah satunya adalah Kartini. Kartini
seorang pejuang perempuan dari Jepara. Dikenal melalui surat-suratnya pada
teman-temannya di Belanda. Dalam surat-suratnya Kartini menjelaskan banyak
mengenai keadaan Kota Jepara dan perempuannya pada masa itu. dibalik kisah
Kartini terdapat begitu banyak sejarah perempuan Jepara yang sesungguhnya.
Tentang posisi perempuan yang di sini sebagai seorang istri hanya sebagai Konco
Wingking. Selain itu perempuan juga tak memiliki ruang gerak yang bebas.
Perempuan slalu memiliki batas yang tak terlihat. Posisinya tak dapat setara
dengan laki-laki.
Hal ini masih berbeda lagi bagi perempuan bangsawan
dan rakyat jelata. Jika perempuan bangsawan seolah mendapat perlakuan ketat
serta pingitan terlebih untuk mereka yang menjelang usia menikah yaitu kurang
lebih 12 tahun, bagi perempuan kelas menengah ke bawah dari keluarga petani,
nelayan dan sebagainya justru merek harus keluar rumah untuk bekerja dan
bekerja membantu orang tuanya. Dari kedua posisi perempuan di Jepara itu mereka
sama-sama tidak memiliki posisi sebagai seorang pencari ilmu. Perempuan
bangsawan dipersiapkan menjadi seorang istri yang hanya mengenal rumah, dan perempuan
dari rakyat sibuk membantu orang tua sama-sama dikenai hal yang tabuh jika
mereka ke sekolah karena dianggap menghianati adat setempat. Maka dari itu tak
banyak adanya perempuan yang dapat merasakan dunia sekolah. Hanya
perempuan-perempuan yang beruntung terlahir di keluarga yang sadar akan
pendidikan yang dapat merasakan sekolah, termasuk Kartini yang dpat merasakan
indahnya dunia pendidikan. Namun perjalanan Kartini di dunia pendidikan pun tak
panjang karena dia harus menikah dengan laki-laki yang dipilihkan orang tuanya.
Adanya perjodohan dan pemaksaan
untuk dinikahkan adalah hal yang wajar bagi dunia perempuan Jepara pada masa
itu. tak jarang mereka harus menjadi istri yang kedua bahkan ketiga. Poligami
yang dilakukan para laki-laki juga dianggap hal yang biasa, terlebih oleh para
bangsawan. Dukungan dari orang tua si calon istri untuk menjadikan anak
perempuan mereka sebagai istri ke sekian juga merupakan factor adanya poligami
tersebut, hal ini dikarenakan keinginan untuk mendapatkan posisi sebagai
keluarga dari bangsawan serta kedudukan yang dirasa tinggi tersebut. Factor
ekonomi juga menjadi salah satu penyebabnya. Karena para perempuan yang mengalami pernikahan dini ini
pula yang menjadikan mereka semakin tidak mendapatkan adanya pendidikan.
Padahal sebagai perempuan yang akan melahirkan generasi emas mereka seharusnya
mendapat bekal sebelum menuju dunia pernikahan.
Penampilan dari perempuan Jepara masa itu hampir
sama dengan rata-rata perempuan di daerah lain. Atasan kebaya dari kain brokat
serta bawahan kain Jarit dan rambut disanggul. Namun dengan berjalannya
waktu, baju dress dan rok perempuan Eropa cukup empengaruhi gaya berpakaian
perempuan abad ke-20.
Posisi perempuan dalam bidang ekonomi juga tak dapat
dipungkiri. Mereka ikut dalam memutar ekonomi keluarga. Hal ini amat tampak
pada keluarga menengah ke bawah karena mereka memiliki peran dan tuntutan untuk
membantu keluarga.
Sekolah yang berkembang masa Kartini
bermula dari sekolah rendah Belanda. Sekolah ini hanya diperuntukkan untuk
bangsa Eropa serta putra-putri bangsawan. Pada umumnya perlakuan yang di dapat
oleh para putra-putri bangsawan pun tak bisa setara dengan para anak dari
bangsa Eropa. Pendidikan kurun waktu 1880-1950 M di Jepara pada awalnya telah
diwarnai dengan pendidikan non formal berupa pendidikan di pondok pesantren
yang mempelajari agama islam. Setidaknya pendidikan ini dapat pula dirasakan
oleh perempuan, karena dalam pengajaran agama islam tidak dibedakan antara
perempuan dan laki-laki, hanya tempatnya saja yang dipisah.
Sebuah
sekolah untuk perempuan dapat didirikan Kartini sebelum akhir khayatnya.
Sekolah itu berkembang menjadi sekolah kejuruan perempuan. Meskipun
lama-kelamaan seiring berkembangnya zaman sekolah itu menjadi sekolah menengah pertama seperti sekolah
umum lainnya.
5.2 Saran
Sejarah yang amat luas tak pernah lepas dari dunia
perempuan. Semua saling berkaitan dan berkorelasi, maka tak seharusnya
perempuan seolah dikesampingkan dalam sejarah dan sejarah hanya tentang para
lelaki. Karena sejatinya perempuan jug memiliki peran.
Dalam
lingkungan masyarakat perempuan memanglah memiliki batasannya sendiri, tapi bukan
berarti harus terkungkung dengan aturan adat yang seolah sangat mengikat
perempuan tanpa memberinya ruang bahkan untuk dirinya sendiri. Perempuan juga
memiliki hak untuk dirinya, meski tetap dalam batasan yang wajar. pendidikan diperlukan oleh seorang perempuan
karena mereka akan menjadi ibu dari anak-anak yang akan memimpin masa depan.
Bekal pendidikan ini dirasa penting karena jika perempuan tak memiliki bekal
apapun maka akan disanksikan dapat melahirkan seorang anak yang akan menjadi
pemimpin masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Ananta Toer, Pramoedya.
1899. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara
Eric R Wolf. 1985. Petani Suatu
Tinjauan Antropologi. Jakarta: CV Rajawali
Mozaik (Jurnal
Ilmu-ilmu sosial dan Humaniora) Vol.2 No.2 Januari 2007.
Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah FISE UNY.
Ricklefs,M.C. 2005. Sejarah
Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Vreede –De Stuers, Cora.
2008. Sejarah Pergerakan Perempuan. Depok: Komunitas Bambu
Jurnal:
Jurnal Sudrajat, Kartini:
Perjuangan dan Pemikirannya (Dosen Jurusan Sejarah FISE UNY)
Jurnal Paramita: Alamsyah. Kreativitas Ekonomi
Masyarakat Lokal di Keresidenan Jepara 1830-1900. Semarang
Jurnal Dina
Dwikurniarini. berjudul Peranan Perempuan di Luar Rumah Tangga dalam
Perspektif Historis.
Jurnal Hidayah, Nur. Feminisme
Kemiskinan: Sebuah Bentuk Ketidakadilan Gender dalam Pembangunan.
Jurnal Dwikurniarini, Dina. Peranan
Perempuan di Luar Rumah Tangga dalam Perspektif Historis
Sumber Internet:
Sumber
Foto :
“LIFE” MAGAZINE,
Edisi 13 Februari 1950 di download dari https://absoluterevo.wordpress.com/2011/12/04/potret-wajah-indonesia-tahun-1950-majalah-life-13-februari-1950/
23 Juni 2015 Pukul 09.45 WIB
http://smpn5jpr.blogspot.com/ diakses 22 Juni 2015 pukul 11.12 WIB

Gambar
1.1 Kartini dan
keluarga 1890

Gambar
1.2 Kartini dan
suami tahun 1903 M

Gambar
1.3 Perempuan Jepara
saat panen padi 1950
[1] Penelitian: “jugun Ianfu, Eksploitasi
Perempuan Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945)”
[2] Ibid.
[3] Ananta Toer, Pramoedya: Panggil
Aku Kartini Saja (Jakarta)
[4] Ricklefs,M.C. 2005. Sejarah
Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press hal.190
[5] Vreede-De Stuers, Cora. 2008. Sejarah
Perempuan Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu. hal.45
[6] Jurnal : Sudrajat, Kartini:
Perjuangan dan Pemikirannya (Dosen Jurusan Sejarah FISE UNY)
[7] Kartini, Door duisternis tot
licht, hlm.139. dalam Vreede, Cora Sejarah Pergerakan Perempuan.
[8] Surat, 6 Nopember 1899, kepada
Estelle Zeehandelaar, dalam buku Panggil Aku Kartini Saja hal.53
[9] Sudrajat. Kartini: Perjuangan
dan Pemikirannya dalam Mozaik (Jurnal Ilmu-ilmu sosial dan Humaniora) Vol.2
No.2 Januari 2007. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah FISE UNY. hal.41
[10] Kartini, Door duisternis tot licht,
hlm.64-65. dalam Vreede, Cora Sejarah Pergerakan Perempuan.
[11] Hidayah, Nur. Feminisme
Kemiskinan: Sebuah Bentuk Ketidakadilan Gender dalam Pembangunan. dalam Mozaik
(Jurnal Ilmu-ilmu sosial dan Humaniora) Vol.2 No.2 Januari 2007. Yogyakarta:
Program Studi Ilmu Sejarah FISE UNY. hal.41
[12] Ninasapti Triaswati. “Woman and
Children Labour Force in the Indonesia” dalam Jurnal Dina Dwikurniarini.
berjudul Peranan Perempuan di Luar Rumah Tangga dalam Perspektif Historis
[13] Jurnal Paramita: Alamsyah. Kreativitas
Ekonomi Masyarakat Lokal di Keresidenan Jepara 1830-1900. Semarang
[14] Ibid
[15] Kartini, Door duisternis tot
licht, hlm.64-65. dalam Vreede, Cora Sejarah Pergerakan Perempuan.
[16] Eric R Wolf. Petani Suatu
Tinjauan Antropologi. Jakarta: CV Rajawali, 1985, hlm.21
[17] Ibid hal.21
[18] Kartini, Door duisternis tot
licht, hlm.289-290. dalam Vreede, Cora Sejarah Pergerakan Perempuan.
0 komentar:
Posting Komentar