Kamis, 10 Desember 2015

DINAMIKA PERUBAHAN PEREMPUAN JEPARA MASA KOLONIAL HINGGA PASCA KEMERDEKAAN (1880-1950 M)









DINAMIKA PERUBAHAN PEREMPUAN JEPARA MASA KOLONIAL HINGGA PASCA KEMERDEKAAN (1880-1950 M)


Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Sejarah

Dosen Pengampu:
Mukhammad Shokheh

Oleh:
Shofwatul Mala
3101413029

JURUSAN SEJARAH
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015





























BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Sejarah yang biasa dihadirkan selama ini mayoritas merupakan sejarah laki-laki, seolah sejarah hanya milik para laki-laki. Mulai dari perang, politik, perjuangan, semuanya didominasi oleh para laki-laki. Tokoh-tokoh yang selama ini dielu-elukan juga para laki-laki. Padahal dibalik itu perempuan juga memiliki andil. Hanya saja tak banyak disorot sehingga hanya sedikit sejarah mengenai perempuan yang tampil dimuka umum.
Masuknya Belanda ke wilayah Nusantara tidak memberikan keluasaan bagi perempuan pada saat itu. ini juga dibenarkan oleh pernyataan Lucia Juningsih  bagaimana kedudukan perempuan pada masa kolonialisme Belanda:
Pada zaman penajahan Belanda yang relative lama, bukti terjadinya kekerasan seksual tampak dari lahirnya anak-anak indo (campuran Indonesia-Belanda) diluar nikah dan sebutan nyai merupakan lambang omantisme seksual yang memberikan kunci suksesnya kolonialisme Belanda di Indonesia. Sebagian nyai menjadi simpanan bangsa Belanda karena takut atau terpaksa melayani kebutuhan seksual bangsa Belanda[1].

Dari pernyataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa sosok perempuan masa itu hanya dianggap sebagai pelengkap kehidupan laki-laki. Yang tak mampu melawan akan semua perlakuan karena ketidakmampuan fisik dan psikis. Dari hal-hal inilah yang didapat dari sejarah perempuan masa kolonial hanya peran mereka sebagai nyai serta hanya sedikit yang menceritakan mengenai kehidupan keseharian perempuan masa itu.
Tak berbeda, semasa pendudukan Jepang pun perempuan masih dianggap sebelah mata, seperti dalam pernyataan dari Den Hartog
... amat tampak bahwa posisi perempuan Jepang pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan posisi perempuan Indos]nesia spesialnya Jawa. Apa yang tampak adalah bahwa kaum perempuan bertempat tidak lebih sebagai ‘benda’ yang nasibnya ditentukan oleh laki-laki. Sementara itu, tampak suatu kesan yang kuat bahwa laki-laki Jepang bisa dengan mudah mengambil gundik, atau mengadakan suatu pesta dengan  menghadirkan Geisha[2].

Masih sama dengan perlakuan perempuan masa kolonial yang dianggap sebagai benda yang masibnya ditentukan oleh laki-laki. Seorang perempuan harus menuruti suami. Maka tak heran ketika itu tak muncul banyak sejarah tentang perempuan karena memang tak banyak peran yang mereka ciptakan dibawah tekanan pendapat yang sangat merugikan perempuan.
Hal-hal yang sama juga terjadi di Jepara. Kota yang melahirkan seorang tokoh perempuan ini juga miskin akan sumber yang khusus mengenai sejarah perempuan disana. Mengenai bagaimana kehidupan seorang perempuan, pendidikannya, serta perannya. Kita hanya tau dari sekelumit kisah yang ditulis oleh sang pejuang emansipasi, Raden ajeng Kartini.
Selama ini dalam penelitian sejarah selalu identik dengan perang, konflik, intrik politik, dan kepentingan ekonomi. Selain itu juga berkaitan erat dengan kekuatan dan kekuasaan yang kesemuanya dipegang erat oleh para laki-laki. Informasi sejarah mengenai perempuan sangat terbatas, jika ada itupun sangat sedikit.
Perempuan juga merupakan bagian dari sejarah, meski posisi mereka hanya menjadi orang kedua setelah laki-laki. Yang jarang diketahui, peran perempuan sangat vital dalam sejarah. Ketidakberdayaan perempuan ternyata memiliki pengaruh. Oleh karena itu perempuan merupakan tema objek kajian yang menarik dalam sejarah.
Berdasarkan gambaran diatas, penulis hendak mengkaji mengenai kehidupan perempuan Jepara masa kolonial hingga pasca kemerdekaan. Ketertarikan penulis ini diberi judul “Dinamika Perubahan Perempuan Jepara Masa Kolonial Hingga Pasca Kemerdekaan (1880 – 1950)”
1.2  Rumusan masalah
Penelitian ini berusaha untuk mengkaji kehidupan perempuan Jepara sejak zaman kolonial hingga pasca kemerdekaan dengan rentang waktu 1880 -1950. Rentang waktu yang dipilih cukup panjang sengaja dipilih agar dapat dipahami perubahan-perubahan kehidupan, tugas, gaya hidup, lingkungan, pakaian, pendidikan, serta hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan perempuan Jepara. Selain itu juga membuktikan adanya paralelisme historis antara kisah-kisah kartini dengan kehidupan masa itu
Dalam cerita-cerita Kartini pada buku hariannya menjelaskan kehidupan perempuan Jepara yang penuh intrik dan cerita. Namun tak pernah kita ketahui pasti bagaimana kehidupan perempuan Jepara di masa itu. tidak ditemukannya data pasti mengenai kehidupan perempuan Jepara masa kolonial hingga pasca kemerdekaan membuat kita kurang memahami kehidupan perempuan masa itu.
            Kiranya perlu untuk dianalisi beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan perempuan Jepara masa itu. mengenai bagaimana pendidikan yang mereka dapatkan? Kehidupan mereka sehari-hari? Hingga posisi mereka dalam keluarga?
            Meskipun kita dapat mengambil beberapa cerita dari kisah yang dituliskan Kartini dalam suratnya, namun kita masih belum bisa mencatat dengan pasti mengenai kehidupan perempuan masa itu. itulah sebabnya penelitian ini perlu dilakuakan. Adapun rumusan masalah yang dikaji oleh penulis meliputi berikut:
  1. Bagaimana perubahan kehidupan perempuan Jepara dalam aktivitas keseharian sejak tahun 1880 hingga 1950?
  2. Bagaimana perubahan kehidupan perempuan Jepara dalam hal pendidikan  sejak tahun 1880 hingga 1950?
1.3  Tinjauan Pustaka
            Penelitian sejarah khusus kehidupan perempuan yang pernah dilakukan sebelumnya meliputi penelitian mengenai pergerakan perempuan yang diterbitkan dalam buku Sejarah Pergerakan Perempuan yang ditulis oleh Cora Vreede-De Stuers, buku ini membahas gerakan perempuan yang berawal dari tahun 1928. Pada pembahasan lain di buku ini ada juga sistem kekerabatan hingga sistem kultural perempuan Indonesia. Selain itu masih banyak buku yang membehasa mengenai pergerakan perempuan.
            Kehidupan perempuan pernah dibahas dalam buku Sejarah Pergerakan Perempuan yang ditulis oleh Cora Vreede-De Stuers tersebut, namun kehidupan perempuan jepara secara khusus belum pernah dibahas dalam penelitian khusus  sebelumnya. Data yang didapat hanya berasal dari surat-surat Kartini yang dirangkum jadi satu oleh Armijn Pane menjadi buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Selain itu juga dalam novel karya Pramoedya Ananta Toer yang menceritakan konflik pergumulan dalam keluarga bangsawan feodal Jawa yang berhasil di lukiskan oleh Pram dengan sangat baik (mungkin hampir sempurna). Ia tak sekadar melukiskan kisah romantisme seorang anak pingitan yang hendak bergumul melawan feodalisme dan patriarki melalui tulisannya, lalu akhirnya menyerah kalah dan mati (seperti kisah Kartini pada umumnya). Dari novel ini dapat diambil informasi mengenai kehidupan perempuan Jepara masa itu.
1.4  Tujuan
Pembahasan mengenai sejarah perubahan perempuan sejak masa kolonialisme hingga masa kemerdekaan ini untuk masa kini penting untuk dkaji, karena:
  1. Dapat mengetahui corak dan proses perubahan yang terus berlanjut, yang akhirnya memberi bentuk pada masa kini. Dengan mengungkap perubahan kehidupan perempuan Jepara pada rentang waktu yang panjang dapat dipergunakan untuk memahami perubahan kehidupan perempuan dan implikasinya dalam masyarakat..
  2. Untuk mengembangkan study sejarah perempuan. Dengan mengetahui perubahan pada perempuan sejak masa kolonial akan dapat diperoleh gambaran mengenai bagaimana upaya untuk pemberdayaan perempuan pada masa kini.
  3. Untuk mengetahui posisi perempuan dalam sejarah Bangsa Indonesia khususnya Jepara di dalam masyarakat.
1.5  Manfaat
Penelitian ini bermanfaat untuk:
  1. Memperoleh pengetahuan akan kehidupan perempuan pada masa kolonialisme hingga pasca kemerdekaan sehingga dapa memperkaya pengetahuan akan sejarah.
  2. Bahan masukan dalam mengambil kebijakan pemberdayaan perempuan, khususnya di Jepara dengan mempertimbangkan sisi historis yang ada.
1.6  Fokus kajian
Penelitian sejarah memiliki karakteristik yang berbeda dengan penulisan karya ilmiah dengan tema kajian ilmu sosial yang lain. Dalam penelitian sejarah eksplanasi penjelasan akan menjadi lebih mudah dan terarah jika dilengkapi perangkat pembatasan baik temporal, spasial, maupun tematik. Hal itu sangat diperlukan karena dengan adanya batasan tersebut sejarawan dapat dihindarkan dari hal-hal yang tidak relevan dengan permasalahan yang akan ditulis. Jika piranti ini tidak digunakan, akibatnya analisis yang dihasilkan bersifat lemah. Batas spasial, batas temporal dan batas tematik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a.       Lingkup Spasial
Dalam penelitian ini yang menjadi batas Spasial atau batas ruang adalah Kabupaten Jepara. Daerah ini diambil sebagai batasan spasial karena daerah tersebut merupakan tempat dimana Kartini dilahirkan. Di Kabupaten Jepara Kartini menjelaskan kehidupan masyarakat disana.
b.      Lingkup temporal
Dalam penelitian ini yang menjadi batas temporal adalah tahun 1880 – 1950. Tahun 1880 dipilih sebagai awal karena pada tahun itu terjadi system tanam paksa hingga politik etis. Meski Jepara bukan mayoritas tempatnya adalah perkebunan, tapi adanya tanam paksa juga berpengaruh bagi Jepara, begitu juga untuk perempuan di Jepara. Selain itu juga dipilihnya tahun itu karena tahun-tahun yang diceritakan Kartini juga meliputi tahun tersebut. Batas akhirnya dipilih 1950 karena agar rentang waktunya lebih panjang sehingga dapat lebih lengkap dalam penngkajian rumusan masalah dalam penelitian ini.
1.7  Metode penelitian
Untuk memperjelas penelitian yang dilakuakan, digunakan beberapa metode untuk mendukung penelitian.
Adapun langkah-langkah yang akan penulis lakukan dalam melakukan penelitian, seperti yang biasa digunakan dalam penelitian sejarah sebagai berikut:
1.      Heuristik, yaitu tahapan untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang dianggap relevan dengan permasalahan yang dipilih. Cara yang dilakukan yaitu dengan mencari dan mengumpulkan sumber, sumber tersebut berupa buku dan artikel-artikel yang berasal dari perpustakaan jurusan sejarah serta perpustakaan umum Kabupaten Daerah Jepara. Selain sumber itu juga ada sumber-sumber dokumen berupa catatan-catatan, surat, serta foto yang didapat dari arsip daerah Jepara ataupun dari museum Kartini di Jepara. Penulis juga berkesempatan untuk melakukan observasi ke kediaman-kediaman warga yang masih memiliki sumber-sumber mengenai kehidupan perempuan pada masa yang diteliti oleh penulis.
2.      Kritik, yaitu tahap menganalisi secara kritis terhadap sumber-sumber sejarah yang telah didapat pada tahap heuristic. Kritik dilakuakn pada sumber primer maupaun sumber sekunder, sehingga diperoleh fakta sejarah yang otentik. Ada dua macam kritik yang dilakukan pada tahap ini yaitu kritik eksternal dan kritik internal.
3.      Interpretasi, yaitu memberikan penafsiran terhadap fakta-fakta yang diperoleh. Pada tahap ini penulis menginterpretasikan fakta-fakta yang telah diperoleh.  Setelah fakta tersebut dikritik terlebih dahulu keontetikannya. Tahapan ini diharapkan mampu menjawab terhadap permasalahan yang dikaji dalam tulisan ini.
4.      Historiografi, yaitu tahap penulisan sejarah. Tahap ini merupakan tahap akhir dalam metode penelitian sejarah. Pada tahapan ini, setelah sumber didapat, dikritik serta diinterpretasikan, kemudian panulis menyusun dalam bentuk tulisan. Penulisan tersebut harus memenuhi tatanbahasa penulisan yang baik dan benar sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku di Universitas Negeri Semarang.




















BAB II
GAMBARAN UMUM KOTA JEPARA
2.1  Jepara kurun waktu 1880-1950
Jepara dan Hiruk-pikuknya
Jepara merupakan suatu kabupaten yang memiliki pelabuhan terbaik kerajaan Demak. Tak banyak informaasi yang didapat mengenai Jepara kurun waktu 1800-an ini. Dalam beberapa bagian pada surat-surat Kartini dijelaskan mengenai keadaan Jepara. Pramodya dalam bukunya yang berjudul Panggil Aku Kartini Saja menjelaskan
… ia ingin mengulurakan tangannya yang hidup dalam derita dan kemelaratan, dalam ketidaktahuan. Tapi apakah yang bisa diberikan oleh seseorang tanpa kebebasan kepada orang-orang yang sendiri hidup bebas? Tapi kartini tau akan kekuatannya.akan kehidupannya lebih dari orang lain. Ia bisa berikan pada mereka, banyak, terlalu banyak. ..[3]

Dari pemaparan tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa pada masa itu rakyat Jepara sedang berada dalam kondisi kemelaratan. Hal tersebut berbalik dengan kondisi pada masa pemerintahan  Ratu Kalinyamat. Masa itu perdagangan maju karena sangat berkembangnya pelabuhan di Jepara.
Masa tahun 1800-an memang merupakan masa tanam paksa yang sedang berkecamuk di nusantara.
Undang-undang Agraria tahun 1870 membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin. Hanya orang-orang Indonesialah yang dapat memiliki tanah. Tetapi orang-orang asing diperkenankan menyewanya dari pemerintah sampai selama tujuh puluh lima dan dua puluh tahun (tergantung  pada persyaratan hal pemilikan tanah). Perkebunan swasta kini dapat berkembang di Jawa maupun di daerah-daerah luar Jawa.[4]
Dengan adanya Undang-undang Agraria tersebut diharapkan dapat sesuai dengan tujuan awal Cultutre Stelsel yaitu dapat menumbuhkan budaya menanam. Namun kenyataannya budaya tersebut dibelokkan menjadi tanam paksa karena kenyataan yang berlaku merupakan adanya pemaksaan dan penyalahgunaan kekuasaan para pembesar Cultutre Stelsel masa itu. hal ini terjadi pula di Jepara. Maka dari itu masa tahun merupakan tahun kemelaratan dimana rakyat dipaksa untuk kerja dan kerja.
Pada abad ke-19 R.M.A.A. Kusoemo Oetaya diangkat sebagai Bupati tepatnya tahun 1905. Masa pemerintahannya bersamaan dengan munculnya pergerakan nasional yang menandai kebangkitan Bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Kemudian Soekahar diangkat tahun 1927. Masa pemerintahan bupati ini berakhir bersamaan dengan jatuhnya Hindia Belanda ketangan Militer Jepang bulan Maret 1942, yaitu beberapa waktu setelah tentara Jepang berada di Jepara. Pada awal kekuasan Jepang, Bupati Jepara dipercayakan pada R.A.A. Soemitro Oetoyo yang menjabat hingga awal kemerdekaan, yaitu hingga bulan Desember 1949.
Sebelum abad tersebut, tampuk kepemimpinan Jepara dipegang oleh dipimpin oleh Adipati Citro Sumo III yang kemudian digantikan oleh Citro sumo IV, Citro Sumo V, dan Adipati Citro Sumo VI. Setelah Adipati Citro Sumo VI, Jepara kemudian dipimpin oleh Temenggung Cendol. Namun jabatan ini tidak lama, karena Setelah Adipati Citro Sumo VI kembali dari Tuban tahun 1838, ia mendapatkan kepercayaan untuk menjabat sebagai Bupati Jepara yang kemudian di lanjutkan oleh Adipati Citro Sumo VII. Pada tanggal 22 Desember 1857, ia digantikan oleh iparnya yang bernama Raden Tumenggung Citro Wikromo, yang kemudian berturut-turut di gantikan oleh K.R.M.A.A. Sosroningrat

BAB III
KEHIDUPAN PEREMPUAN JEPARA KURUN WAKTU 1880-1950 M
3.1  Kedudukan Perempuan Jepara
Pembicaraan tentang sejarah memang cukup menarik bagi banyak orang. Bahkan, sementara ahli memberi pernyataan bahwa manusia tidak mungkin dapat meninggalkan sejarahnya. Mudah dipahami bahwa pernyataan itu pada intinya mengandung makna bahwa sejarah atau perjalanan hidup pada masa lampau sekelompok manusia beserta wilayah yang dihuninya adalah sangat penting. Sifat pentingnya itu bukan semata-mata karena sejarah telah mampu mengantar kelompok manusia itu sampai ke kehidupannya pada masa kini serta memungkinkan mereka dapat meneruskan perjalanannya ke masa-masa mendatang, tetapi lebih dari itu. Sejarah juga mampu menjadikan kelompok manusia yang bersangkutan memiliki cita-cita mengenai kualitas kehidupan dan dirinya yang ingin dicapai atau diwujudkannya. Sudah tentu dengan syarat, kelompok sosial tersebut harus bijak lestari dalam mengambil hikmah dari perjalanan sejarah yang telah dilaluinya. Ingat pulalah ungkapan sangat bermakna yang pernah terdengar, yang pada hakikatnya menyatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu menghargai sejarahnya.
Dari sejarah yang ada sangat jarang ditemukan sejarah khusus tentang perempuan, padahal sangat menarik jika membahas sejarah perempuan, khususnya di Jepara. Yang semua tahu seorang perempuan hebat abad ke 19 lahir disana. Kartini, lewat cerita-cerita yang dia tuliskan dalam buku kumpulan surat-suratnya Habis Gelap Terbitlah Terang ini mengulas tentang hal itu.
Kehidupan seorang perempuan tak dapat se-leluasa seorang laki-laki. Perempuan dianggap sebagai seorang yang tak dapat bertingkah sembarangan, semua ada aturan dan tatanannya. Dalam hal kedudukan, laki-laki selalu lebih tinggi dari perempuan.
Hal tersebut tak muncul begitu saja. Semua itu merupakan adat yang berlaku sejak zaman dahulu, juga sejak masa Kartini. Terlebih masa itu sangat terlihat perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Sebuah ketimpangan yang amat nyata di depan mata.
Baik ibu kandungnya maupun ibu tuanya adalah wanita kuno. Perbedaannya adalah, ibu tua seorang wanita ningrat kuno yang mendudukkan anak lelaki lebih tinggi daripada anak perempuan (Toer, 1899:60).
Seorang laki-laki lebih doiunggulkan dari perempuan, hal ini tak dapat dipungkiri kebenarannya. Hal itu senada dengan apa yang tertera dalam buku Sejarah Perempuan Indonesia karya Cora Vreede-De Stuers
Kedudukan kaum perempuan dalam kehidupan sosial diatur oleh tradisi; hak dan kewajiban kaum perempuan lebih rendah dibandingkan dengan kaum lelaki. Kebiasaan yang sudah berlangsung lama ini masih saja terjadi dan dibuktikan oleh banyak pengamat[5].

Perempuan hanya mampu ikut dalam alur yang telah dibuat oleh alam, tanpa mampu melawan atau memberontak. Seorang yang menyalahi kebiasaan justru dianggap tidak sesuai dengan norma adat kebiasaan di tempat itu. tradisi yang berlaku terlalu mengikat seorang perempuan untuk berada di posisi kedua setelah laki-laki. Tradisi tersebut diperkuat dengan hokum agama yang terkadang dianggap sebagai penggekang kebebasan perempuan. Perempuan tak diperkenankan menjadi imam atas laki-laki. Seharusnya hal itu tak ditelan mentah-mentah. Perempuan juga dapat berkarya namun tetap dalam koridor seorang perempuan. Namun apalah daya, tak semua tradisi dapat diberi asumsi seperti itu.
Lewat surat-suratnya tersebut Kartini banyak mengungkapkan keadaan kaumnya dan juga harapan-harapannya tentang upaya meningkatkan derajat kaum wanita Indonesia. Kartini juga mengungkapkan tentang ketertinggalan keadaaan wanita Indonesia, khususnya menyorot pada Jepara di sebagian besar suratnya. Hal ini disebabkan oleh aturan adat dan budaya jawa yang menempatkan wanita dalam posisi yang inferior bila dibandingkan dengan pria. Dalam konstruk budaya Jawa peranan wanita hanya berkisar pada tiga kawasan yaitu di sumur (mencuci dan bersih-bersih), di dapur (memasak), dan di kasur (melayani suami). Atau dengan perkataan lain peran perempuan adalah macak, masak, dan manak.  Lebih jauh gambaran perempuan Jawa adalah sebagai konco wingking, yaitu sebagai pembantu yang melayani suami untuk urusan belakang. Karena peranannya yang marjinal tersebut maka wanita tidak perlu mendapat pendidikan yang tinggi[6].
Situasi pada masa itu sudah dibaca oleh Kartini yang digambarkan dalam surat-suratnya dengan penuh kepahitan Kartini menggambarkan kehidupan keluarganya dan semua kekacauan yang terjadi di sekitar kehidupannya: pingitan terjadi pada gadis-gadis yang dijodohkan, kehidupan perempuan ruang tangga yang hanya bermalas-malasan dan dibiarkan menjadi bodoh (tidak tahu apa-apa). Dalam beberapa suratnya Kartini menjelaskan keinginannya untuk menjadi guru sehingga dapat melahirkan generasi muda yang baru, dalam suratnya pada 11 Oktober 1901, ia menulis:
Menurut Ayah, menjadi gurulah yang terbaik bagi  kami… dimana lagi aku dapat menyebarkan cita-citaku secara lebih baik daripada disitu, sebagai pendidik angkatan muda yang akan menjadi perempuan dan ibu masa depan?...
Adikku Kardinah yang akan memasuki lapangan pendidikan dan telah memilih keahlian dalam kerumahtanggaan dan masak-memasak… dan di mana urusan rumah tangga ada di tangan perempuan, disitu tentu orang harus mulai mengajar perempaun agar hemat dulu, jika orang ingin melihat rakyat hemat[7].
                       
Pingitan yang terjadi pada gadis yang telah menginjak usia 12 tahun terjadi pada kalangan bangsawan, berbeda dengan kalangan rakyat jelata dimana gadis tetap harus membantu orangtuanya ke ladang.
Padahal seharusnya perempuan harus memiliki modal berupa pendidikan karena mereka akan melahirkan dan membesarkan generasi penerus bangsa. Seharusnya mereka memiliki bekal untuk menjadikan generasi yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Namun semua itu tak di dapatkan perempuan masa Kartini.
3.2  Pakaian serta atribut
Kain dan kebaya
Pakaian merupakan sebuah identitas dari sebuah peradaban suatu tempat atau masa tertentu. Dalam hal ini juga di Jepara dalam kurun waktu tersebut. Dalam beberapa foto dan gambar perempuan Jepara abad ke-19 awal, menampilkan sosok perempuan dengan bawahan berupa kain batik atau yang biasa dikenal dengan jarit atau jarik. Kain ini biasa berukuran sekitar 1,5 x 2 meter yang terbuat dari kain yang dibatik, berupa batik tulis atau batik cap. Cara mengenakan kain ini tanpa mendapat bantuan benang jahit juga penjepit. Jadi lembaran Jarit dililitkan memutar sepanjang pinggul hingga kaki. Memang terlihat sangat anggun, karena itulah esensi dari seorang perempuan, selalu terlihat indah. Biasanya untuk menjaga agar kain jarit  tersebut tidak merosot, dapat digunakan bengkong. Bengkong dililitkan memutar di piggang sehingga Jarit di pinggang menjadi kencang dan tidak mudah melorot.  Bengkong di beberapa daerah juga disebut Kendhit, Udet, dan Angkin. Bengkong ini biasanya berbentuk kain selebar 20 cm dengan panjang mencapai 2 meter. Bengkong juga berfungsi menyangga punggung danmenjaga bentuk tubuh perempuan, jadi perempuan masa yang mengenakan bengkong cenderung memiliki bentuk tubuh yang ramping dan tegap karena tiap hari disangga oleh bengkong tersebut.
Adapun baju yang dikenankan merupakan kebaya yang biasa terbuat dari kain brokat yang dibuat baju berkancing depan. Biasanya baju kebaya ini berpotongan lengan panjang dan agak membentuk tubuh si pemakai. Pakaian ini dikenakan setiap hari oleh para perempuan. Pada hakikatnya, pakaian ini sama antara kaum bangsawan dengan rakyat jelata, hanya yang membedakan biasanya pada jenis bahan yang digunakan serta kebersihan dari pakaian tersebut.
Namun gaya berpakaian seperti diatas tak bertahan sampe sekarang. Setelah tahun 1900 an terlebih 2000-an, perlahan mulai berubah. Masyarakat, terutama yang golongan muda perlahan berpindah ke tren mengikuti pengaruh orang-orang Eropa yang mengenakan rok dan dress. Rok dan dress rata-rata meniru gaya dari perempuan Eropa. Dres berupa baju bahan kain segala jenis dengan potongan lengan pendek dan rok dibawah lutut dikenakan perempuan pribumi dalam kehidupan sehari-hari. Namun pada awal 1950-an pakaian jarit atau jarik  ini masih terlihat dipakai oleh beberapa perempuan Jepara.
Gaya Rambut
Pada awal 1800 an gaya rambut perempuan Jepara rata-rata menggunakan sanggul dengan rambut panjangnya. Perempuan masa itu dituntut untuk dapat menata rambut sendiri, karena mayoritas memiliki rambut panjang dianggap sebagai suatu hal yang mutlak bagi seorang perempuan khususnya di daerah Jawa. Semua rambut disisir kearah belakang dan diikat dengan gulungan rambut pula di belakang kepala. Sebuah hal yang tak biasa jika perempuan menggerai rambutnyya. Jika perempuan yang mengenakan jilbab, jilbab segiempat panjang yang disampirkan tanpa diikat. Namun sama seperti gaya pakaian, perlahan gaya tersebut mulai pudar karena keinginan masyaarakat untuk mengikuti orang Eropa yang dianggap lebih sederhana. Potongan rambut sebahu bahkan lebih pendek digerai begitu saja tanpa ada ikatan menjadi tren pada tahun 1900 an. Namun perubahan tersebut tak beegitu kentara di lingkungan rakyat jelata. Kain dan kebaya serta rambut yang disanggul ke belakang tetap mereka kenakan sehari-hari.
Alas Kaki
Bagi rakyat jelata menggunakan alsa kaki bukanlah hal yang biasa dilakukan. Para perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga biasa bertelanjang kaki kemanapun mereka pergi. Hal ini juga dilakukan oleh para gadis saat ke ladang, kebun, atau ke sawah. Mereka biasa tidak mengenakan alas. Berbeda dengan para bangsawan atau yang juga sering disebut sebagai kaum priyayi. Sandal slop selalu mereka kenakan untuk melindungi kaki mereka. Sandal slop ini hampir sama dengan milik orang-orang Cina. Bagian belakang kosong dan bagian depan tertutup.
Seiring dengan berjalannya waktu, menginjak tahun 1900 an perubahan pun terjadi. Alas kaki berupa sandal dengan berbagai macam bentuk mulai menyerbu nusantara begitu juga Jepara. Para perempuan yang tidak biasa dengan alas kaki juga telah mengenakannnya karena dirasa perlu untuk melindungi kaki mereka.
Perubahan dalam hal pakaian tidak begitu berpengaruh pada perempuan golongan menengah ke bawah terutama yang di pedesaan. Mereka tetap mengenakan kain dan kebaya seperti sebelumnya. Pergeseran pakaian ini lebih terasa pasca kemerdekaan, itupun lebih banyak pada golongan muda di kalangan bangsawan.
3.3  Perempuan sebagai Seorang Istri
System kekerabatan Jawa adalah bilateral atau parental, berarti tidak membedakan antara keturunan lewat ayah atau ibu. Dalam system Jawa ini pun menarik perhatian, bahwa unit yang sangat penting adalah keluarga kecil, nucleur family, yang terdiri dari orang tua dan anak-anaknya. Pengantin baru juga umumnya tidak tinggal bersama (neolocal). Cara hidup tersebut secara umum ditemukan, sekalipun dengan perbedaan disana-sini menurut tingkatan dalam masyarakat.
            Dalam konstruk budaya Jawa peranan wanita hanya berkisar pada tiga kawasan yaitu di sumur (mencuci dan bersih-bersih), di dapur (memasak), dan di kasur (melayani suami). Atau dengan perkataan lain peran perempuan adalah macak, masak, dan manak.  Lebih jauh gambaran perempuan Jawa adalah sebagai konco wingking, yaitu sebagai pembantu yang melayani suami untuk urusan belakang. Karena peranannya yang marjinal tersebut maka wanita tidak perlu mendapat pendidikan yang tinggi
Baik laki-laki maupun perempuan kebanyakan merupakan staf rekan kerja yang setaraf dalam lingkungan masyarakat.banyak wanita yang memiliki peekerjaan sendiri. Hal ini tampak di keluarga yang kurang berada, namun hal itu terjadi dalam kurun waktu 1900 an. Namun sebelum itu, sebuah batas perbedaan terbentang dikedua sisi tersebut. Sebelumnya perempuan tak berdaya.
            … karena tiap lelaki setiap kali dapat saja pulang ke “rumah membawa pempuan lain” sedang istri sebelum ini “harus mengakui perempuan itu sebagai istri lakinya yang sah, harus diterimanya sebagai saingannya”.[8]

     Perempuan menerima madunya tanpa adanya pertanyaan. Mereka rela sebagai istri yang kesekian dari yang kesekian. Mereka rela demi mengabdi pada sang suami. Karena dianggap bahwa perempuan adalah pihak yang lemah. System patriekal merupakan salah satu factor dari adanya anggapan perempuan adalah pihak kedua yang tak dapat berbuat banyak dalam hidup ini.
Hal lain yang menjadi perhatian seperti yang diungkap Kartini dalam suratnya tentang ketidakadilan terhadap perempuan adalah berkembang suburnya poligami yang merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan pria terhadap wanita. Kartini juga merasakan betapa besar penderitaan dan pengorbanan kehidupan wanita yang dimadu oleh suaminya. Hal ini berkembang pesat pada masa Kartini khususnya di lingkungan bangsawan. Hal ini pun dilakukan oleh orang tua Kartini, abang Kartini dan para raden mas di lingkungan Kabupaten Jepara lainnya. Hal penting yang menjadi perhatian adalah adnya dorongan dari orang tua agara anknya mendapat suami yang berasal dari kaum bangsawan dengan tujuan untuk memperoleh kehormatan dan kemewahan[9].
Bukan hanya di kalangan bangsawan, poligami terjadi terjadi dikalangan rakyat. Namun tak seperti di kalangan bangsawan, poligami di rakyat lebih kepada perempuan sebagai objek poligami, karena perempuan dengan sukarela menjadi istri dari para bangsawan dikarenakan kedudukan dan gelar yang mereka miliki. Para perempuan itu pun menerima begitu saja dengan status istri  poligami tanpa adanya protes. Hal ini juga mendapat dukungan dari pihak keluarga yang tak jarang memaksa putrinya untuk melakukan pernikahan tersebut.
Kritik pedas dilontarkan Kartini terhadap kawin paksa bahkan poligami yang timbul karena ketakutan yang dirasakannya disebabkan oleh kebiasaan-kebiasaan matrimonial kelas atas. Hal tersebut diungkapkan Kartini lewat suratnya kepada Zeehandelaar pada 23 Agustus 1900:
Jalan hidup anak perempuan Jawa telah dibatasi dan dibentuk menurut satu pola yang sama. Satu-satunya yang boleh kami mimpikan adalah hari ini atau esok menjadi istri yang kesekian bagi seorang lelaki. Aku menentang mereka yang menunjukkan ketidakbenaran ini. Kaum perempuan disini tidak boleh menyatakan keinginan apapun; mereka begitu saja dikawinkan … dikawinkan dengan siapa saja yang dianggap baik oleh kedua orang tuanya…
Tidak setiap orang islam mempunyai empat orang istri, tetapi dalam dunia kami perempuan yang telah kawin mengetahui bahwa dia bukan satu-satunya istri suaminya, dan hari ini atau besok suami tercinta dapat saja membawa pulang seorang perempuan untuk menjadi temannya, yang memiliki hak sama atas suaminya… mereka sudah terbiasa dengan keadaaan seperti itu sehingga tidak melihatnya sebagai suatu yang aneh. Tetapi itu bukan berarti mereka tidak sangat menderita karena itu. hampir tiap perempuan yang aku kenal disini mengutuk hal lelaki itu. namun kutukan itu tak berguana, seharusnya kami bertindak[10].

Para lelaki dengan leluasanya dapat melakukan poligami, mereka memiliki hak penuh untuk melakukan poligami bahkan tanpa seizing istrinya. Hal ini merupakan bukti nyata perwujudan bahwa masa itu perempuan benar-benar tak memiliki hak untuk bersuara dan bertindak. Semua kehendak dimiliki oleh sang suami.
3.4  Perempuan dan Kehidupan Ekonomi
Feminisme liberal muncul pada abad ke-18, gerakannya menuntut persamaan pendidikan bagi perempuan dan laki-laki. Dasar pemikirannya perempuan tidak tahu hak-haknya di bidang hokum karena pendidikannya rendah. Maka sumsinya apabila pendidikan perempuan meningkat, maka mereka akan mudah diajak untuk menyadari hak-haknya. Gerakan feminism ini berkembang pada abad 19 mulai memperjuangkan hak sebagai warga Negara dan hak di bidang ekonomi. Mereka menuntut kesempatan sama bagi perempuan dan laki-laki. Pada abad ke-20 berkembang menjadi tuntutan perlakuan yang sama terhadap perempuan dan laki-laki, jadi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan untuk mengubah system masyarakat yang mengikat perempuan[11]
Keberadaan tenaga kerja di masa kolonial diatur dalam Ordonance no.647 tahun 1925 tentang tenaga kerja anak-anak dan perempuan. Tahun 1969 baru keluar Gouvermen Declared Act no.14 dan Article no.10 Ac no.144 tahun 1969 yang mengatur: a. standar keselamatan, b.standar keselamatan kerja dan kesehatan dalam industry, c. standar tenaga kerja dan kompensasi kesehatan dan rehabilitasi  dalam kecelakaan industri[12]. Kebijakan tersebut seharusnya menjadi jaminan akan keselamatan perempuan di luar rumah tangganya ketika ia tidak mendapat perlindungan dari suaminya.
Namun yang disayangkan kembali,peraturan ini baru muncul pada akhir masa tanam paksa. Padahal ketika tanam paksa dipungkiri atau tidak, banyak pekerja yang masih merupakkan anak-anak pada masa itu.
Pada dasarnya sejak 1832 M ibu rumah tangga di Jepara sudah terlibat dalam kegiatan penenunan. Adanya hal ini cukup dapat memberi dampak menguntungkan bagi industry rumah tangga di Jepara meski belum imbangnya antara  pekerjaan dan upah yang ada[13]. Pada era selanjutnya yaitu 1859 telah ada industry yang hanya dikelola oleh para perempuan, yaitu pembibitan kapas di beberapa distrik di Keresidenan Jepara. Meski industry tersebut pada dasarnya kurang cocok di Jepara. Kerajianan tenun dan batik tulis yang dilakukan terus bertahan hingga 1876 semakin banyak dijumpai di Keresidenan Jepara, meski permintaan pasar pun tak menunjukkan permintaan yang melonjak. Pada 1881 masih banyak istri petani yang memiliki kebiasaan membuat baju pada musim panen. Kebanyakan baju ini ditenun dan ditanam sendiri oleh petani atau dibeli di pasar. Peralatan pemintalan dan penenunan dibuat sendiri oleh mereka[14].
Perempuan Jepara telah memiliki pekerjaan dan kesibukan tersendiri sejak lama, hal ini terus berkembang hingga sekarang khususnya dalam industry kreatif di Jepara.

BAB IV
PENDIDKAN PEREMPUAN JEPARA KURUN WAKTU 1880-1920 M
4.1  Awal Mula Sekolah di Jepara
Tahun 1899 hanya ada satu sekolah di Jepara, yaitu Sekolah rendah Belanda. Sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak Belanda serta kaum bangsawan pribumi. Meski sebelumnya telah ada Sekolah Melayu yang didirikan sejak tahun 1849  namun tutup ketika tahun 1889.
4.2  Interaksi di Lingkungan Sekolah
Karena pada dasarnya Sekolah Rendah Belanda merupakan sekolah yang dikhususkan untuk anak-anak Belanda. Jika di Menado “Menadonesche School” diskriminasi terjadi berasal dari latar belakang pekerjaan orangtuanya, setelah upacara anak diurutkan berdasarkan ekerjaan orang tua. Hal lain juga terjadi, perlakuan tak adil pun muncul pada anak selain keturunan Eropa. Diskriminasi berdasarkan warna kulit. Presensi yang ada berdasarkan warna kulit dari masing-masing siswanya. Diawali siswa yang berkulit putiih, hingga siswa yang berkulit hitam (pribumi). Namun belum jelas apakah hal tersebut juga terjadi di Jepara.
Bahasa yang digunakan sebagai bahasa pengantar juga merupakan Bahasa Belanda yang tak biasa digunakan oleh rakyat pribumi, hal ini juga yang menjadi penghalang jika ada keinginan untuk bersekolah dari anak-anak pribumi.
Dari sekolah yang ada diatas, kemungkinan untuk perempuan bersekolah sangat kecil, hanya perempuan anak kaum bangsawan Etropa dan Bangsawan Jepara yang dapat bersekolah. Namun bagi rakyat jelata tentu bukan hal yang mudah untuk masuk instansi ini.
4.3  Munculnya Sekolah-sekolah
Dalam sebuah arsip yang dikeluarkan oleh Badan Arsip Pusat Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyebutkan adanya bukti perenovasian beberapa sekolah di Jepara pada tahun 1893. Hal ini menunjukkan perkembangan dunia pendidikan Jepara. Tapi hal tersebut pun tak dapat dipastikan bahwa sekolah tersebut adanya siswi perempuan di sekolah tersebut.
Dikutip dari R. Soetomo, Perkawinan dan Perkawinan Anak-anak, 1928 hal.38 dalam buku Sejarah Pergerakan Perempuan Indonesia menyebutkan bahwa Kartini beruntung karena mendapat seorang teman seperti Abendanon, orang berkebangsaan Belanda yang bertugasa pada masa tanam paksa. Abendanon merupakan bangsawan Belanda yang bertugas mengawasi tanam paksa di Jepara.
Abendanon mendorong Kartini mendirikan kelas kecil di rumahnya, dan dengan penuh semangat Kartini menceritakan usaha awalnya kepada Nyonya Abendanon melalui surat yang ditulisnya pada 4 Juli 1903:
Sekolah kecil kami sudah 7 orang muridnya dan setiap hari ada saja yang mendaftar di sini!...
Kemarin seorang ibu muda menemuiku. Dengan sangat menyesal ia mengatakan bahwa ia tinggal jauh sekali dari kami; ia sendiri ingin sekali belajar di tempat kami… karena ia tidak dapat mencapainya maka ia ingin memberikan apa ia tidak dapat diperolehnya itu kepada anaknya… Anak-anak itu datang ke sini empat kali dalam sepekan…Mereka belajar menulis dan membaca, kerajinan tangan dan memasak… Beruntung kami masih mempunyai sedikit peralatan menjahit; selama persediaan cukup, mereka mendapatkan semuanya secara gratis[15].
Namun tak lama dikelola Kartini, beberapa pecan setelah surat itu terkirim Kartini dinikahkan dengan Bupati Rembang dan akhirnya pada 1904 Kartini meninggal dunia.
Sekolah untuk perempuan yang didirikan pertama di Jepara dilanjutkan hingga sekarang menjadi SMP N 5 Jepara. SMP ini termasuk sekolah tertua di Jepara. Sejak awal berdirinya SMP 5 dahulu merupakan sekolah kejuruan rintisan Kartini yang dinamakan SKP (sekolah keputrian) dan tak lama berselang berubah menjadi SKKP (Sekolah Kesejahteraan Keluarga Pertama). Dimana materi yang dikhususkan hanya untuk siswi putrid, seperti menjahit, memasak, membuat jajanan dll. Kemudian pada tahun 1991 berubah menjadi SMP N 6 Jepara, dan materi yang diajarkan berupa materi umum serupa dengan sekolah menengah pada umumnya. Baru pada 2003 sekolah ini berubah nama menjadi SMP N 5 Jepara.
Selain sekolah formal, pada tahun 1884 telah berdiri sebuah pondok pesantren di Jepara, yaitu Pondok Pesantren Roudlotul Mubtadiin yang berlokasi di Desa Balekambang Gemiring Lor Kecamatan Nalumsari Jepara. Pondok pesantren ini mengajarkan tentang membaca, menulis dan mengkaji Al-Qur’an serta pemahaman tentang islam. Pondok pesantren berupa pondok salaf atau salafi yang mengajarkan juga tentang membaca dan mempelajari kitab kuning yang menjelaskan tentang agama islam.
Sesuai yang telah berlaku sebelumnya, dengan adanya pondok pesantren ini dapat dikatakan telah ada pendidikan bagi perempuan meski dalam bnetuk pendidikan agama islam. Dalam pendidikan di pondok  pesantren biasanya pembelajaran dilakukan secara terpisan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan biasa diajar oleh istri dari Kyai atau yang biasa disebut dengan Nyai atau Bu Nyai.  Namun tak dipungkiri juga perempuan tetap diajar oleh sang Kyai secara langsung.
Dari pondok pesantren ini perempuan mendapat pendidikan meski tidak secara formal. Dengan modal agama tersebut perempuan Jepara memiliki bekal untuk membesarkan anak-anaknya melalui pengetahuan agama.
Baru pada tahun 1960 berdiri sekolah formal negeri yaitu SMA N 1 Jepara. Ini merupakan sekolah menengah atas pertama di Jepara.
4.4  Sekolah dan Perempuan
Tahun 1880 an, di Jepara perempuan  masuk sekolah merupakan suatu hal yang  tak wajar bahkan dianggap tabuh dan bukan hal yang wajar. Tempat perempuan memanglah di rumah membantu keluarga. Karena wanita harus mengerjakan pekerjaan rumah. Jika seorang perempuan bersekolah, tentu mereka harus meninggalkan rumah dan pekerjaan mereka di rumah, maka hal  itu dianggap sebuah penghianatan  jika seorang perempuan pergi ke sekolah, jangankan ke sekolah, bahkan ke tempat lain pun tak semudah itu untuk keluar rumah (Toer, 1889:60).
            Karena hal tersebutlah tak ditemukan dengan mudah adanya perempuan yang bersekolah, sekolah bukan tempat untuk seorang perempuan. Tak sepatutnya perempuan meninggalkan rumahnya untuk bersekolah.
Hal yang berlawanan terdapat pada rakyat jelata. Jika kaum-kaum feodal dan bangsawan, perempuan merupakan hal yang tabuh untuk keluar rumah, namun bagi rakyat jelata justru seorang perempuan itu justru harus keluar rumah untuk membantu pekerjaan di sawah, ladang atau di pasar. Dikarenkan itu maka perempuan dari rakyat jelata juga tidak diperkenan kan untuk sekolah karena harus membantu orang tuanya.
Di dalam masyarakat agraris pekerjaan merupakan pekerjaan keluarga[16]. Karena hakikat sebuah keluarga adalah team work. Seluruh organisasi petani ditentukan oleh ukuran dan komposisi keluarga petani dan tuntutan-tuntutan konsumsinya dengan jumlah tangan yang bekerja[17].
Dari sini dapat dipahami mengapa perempuan dari golongan rakyat jelata tak diperbolehkan berangkat sekolah karena peran mereka dalam keluarga pada masa itu. Mereka memiliki tanggungan untuk membantu keluarga di lading, kebun, dan sawah. Maka tak heran adanya pelarangan sekolah untuk anak perempuan. Meskipun pada dasarnya laki-laki juga mendapat pembagian tugas untuk membantu tugas rumah, namun laki-laki lebih fleksible dalam mengerjakannya, sehingga mereka tetap dapat bersekolah, hal ini tidak berlaku untuk perempuan.
Dalam surat Kartini yang ditulis pada 4 oktober 1902 dan ditujukan pada professor G. K. Anton dan Nyonya dari Jena yang telah mengunjungi Jawa, Kartini menulis:
Jika kami menginginkan pendidikan dan pengajaran bagi kaum perempuan… itu bukan karena kami ingin menjadikan perempuan menjadi saingan laki-laki… tetapi…kami ingin menjadikan perempuan lebih cakap melakukan tugas besar yang diberika Ibu Alam ke tangannya agar menjadi ibu: pendidik umat manusia yang utama… kepada kaum ibu, pusat kehidupan rumah tangga, dibebani tugas besar mendidik anak-anaknya… untuk keluarga besar, keluarga raksaksa yang bernama masyarakat, karena anak-anak itu suatu waktu akan menjadi anggotanya. Untuk inilah kami meminta pendidikan dan pengejaran bagi gadis-gadis[18]

Pendidikan sangat dibutuhkan perempuan karena mereka akan membesarkan anak-anaknya. Namun sayang hal ini tidak tersadari pada masa itu. pendidikan masih dianggap hal yang tabuh bagi perempuan karena perempuan tidak seharusnya menyamai seorang laki-laki.
Perempuan dianggap mahluk yang tidak seharusnya mendapat pendidikan. Kondisi perempuan diharuskan beradda di rumah untuk mengurus keluarga, namun hal tersebut tak dibekali dengan pengetahuan lebih dari seorang ibu rumah tangga.

BAB V
PENUTUP
5.1  Kesimpulan
sejarah yang selama ini tercatat pada umumnya lebih banyak mencatat tentang para laki-laki dan perannya. Tak banyak yang menjelaskan tentang perempuan.
Padahal dibalik itu semua terdapat banyak sejarah yang tertoreh dari seorang perempuan, salah satunya adalah Kartini. Kartini seorang pejuang perempuan dari Jepara. Dikenal melalui surat-suratnya pada teman-temannya di Belanda. Dalam surat-suratnya Kartini menjelaskan banyak mengenai keadaan Kota Jepara dan perempuannya pada masa itu. dibalik kisah Kartini terdapat begitu banyak sejarah perempuan Jepara yang sesungguhnya. Tentang posisi perempuan yang di sini sebagai seorang istri hanya sebagai Konco Wingking. Selain itu perempuan juga tak memiliki ruang gerak yang bebas. Perempuan slalu memiliki batas yang tak terlihat. Posisinya tak dapat setara dengan laki-laki.
Hal ini masih berbeda lagi bagi perempuan bangsawan dan rakyat jelata. Jika perempuan bangsawan seolah mendapat perlakuan ketat serta pingitan terlebih untuk mereka yang menjelang usia menikah yaitu kurang lebih 12 tahun, bagi perempuan kelas menengah ke bawah dari keluarga petani, nelayan dan sebagainya justru merek harus keluar rumah untuk bekerja dan bekerja membantu orang tuanya. Dari kedua posisi perempuan di Jepara itu mereka sama-sama tidak memiliki posisi sebagai seorang pencari ilmu. Perempuan bangsawan dipersiapkan menjadi seorang istri yang hanya mengenal rumah, dan perempuan dari rakyat sibuk membantu orang tua sama-sama dikenai hal yang tabuh jika mereka ke sekolah karena dianggap menghianati adat setempat. Maka dari itu tak banyak adanya perempuan yang dapat merasakan dunia sekolah. Hanya perempuan-perempuan yang beruntung terlahir di keluarga yang sadar akan pendidikan yang dapat merasakan sekolah, termasuk Kartini yang dpat merasakan indahnya dunia pendidikan. Namun perjalanan Kartini di dunia pendidikan pun tak panjang karena dia harus menikah dengan laki-laki yang dipilihkan orang tuanya.
            Adanya perjodohan dan pemaksaan untuk dinikahkan adalah hal yang wajar bagi dunia perempuan Jepara pada masa itu. tak jarang mereka harus menjadi istri yang kedua bahkan ketiga. Poligami yang dilakukan para laki-laki juga dianggap hal yang biasa, terlebih oleh para bangsawan. Dukungan dari orang tua si calon istri untuk menjadikan anak perempuan mereka sebagai istri ke sekian juga merupakan factor adanya poligami tersebut, hal ini dikarenakan keinginan untuk mendapatkan posisi sebagai keluarga dari bangsawan serta kedudukan yang dirasa tinggi tersebut. Factor ekonomi juga menjadi salah satu penyebabnya. Karena para  perempuan yang mengalami pernikahan dini ini pula yang menjadikan mereka semakin tidak mendapatkan adanya pendidikan. Padahal sebagai perempuan yang akan melahirkan generasi emas mereka seharusnya mendapat bekal sebelum menuju dunia pernikahan.
Penampilan dari perempuan Jepara masa itu hampir sama dengan rata-rata perempuan di daerah lain. Atasan kebaya dari kain brokat serta bawahan kain Jarit dan rambut disanggul. Namun dengan berjalannya waktu, baju dress dan rok perempuan Eropa cukup empengaruhi gaya berpakaian perempuan abad ke-20.
Posisi perempuan dalam bidang ekonomi juga tak dapat dipungkiri. Mereka ikut dalam memutar ekonomi keluarga. Hal ini amat tampak pada keluarga menengah ke bawah karena mereka memiliki peran dan tuntutan untuk membantu keluarga.
            Sekolah yang berkembang masa Kartini bermula dari sekolah rendah Belanda. Sekolah ini hanya diperuntukkan untuk bangsa Eropa serta putra-putri bangsawan. Pada umumnya perlakuan yang di dapat oleh para putra-putri bangsawan pun tak bisa setara dengan para anak dari bangsa Eropa. Pendidikan kurun waktu 1880-1950 M di Jepara pada awalnya telah diwarnai dengan pendidikan non formal berupa pendidikan di pondok pesantren yang mempelajari agama islam. Setidaknya pendidikan ini dapat pula dirasakan oleh perempuan, karena dalam pengajaran agama islam tidak dibedakan antara perempuan dan laki-laki, hanya tempatnya saja yang dipisah.
Sebuah sekolah untuk perempuan dapat didirikan Kartini sebelum akhir khayatnya. Sekolah itu berkembang menjadi sekolah kejuruan perempuan. Meskipun lama-kelamaan seiring berkembangnya zaman sekolah itu  menjadi sekolah menengah pertama seperti sekolah umum lainnya.
5.2  Saran
Sejarah yang amat luas tak pernah lepas dari dunia perempuan. Semua saling berkaitan dan berkorelasi, maka tak seharusnya perempuan seolah dikesampingkan dalam sejarah dan sejarah hanya tentang para lelaki. Karena sejatinya perempuan jug memiliki peran.
Dalam lingkungan masyarakat perempuan memanglah memiliki batasannya sendiri, tapi bukan berarti harus terkungkung dengan aturan adat yang seolah sangat mengikat perempuan tanpa memberinya ruang bahkan untuk dirinya sendiri. Perempuan juga memiliki hak untuk dirinya, meski tetap dalam batasan yang wajar.  pendidikan diperlukan oleh seorang perempuan karena mereka akan menjadi ibu dari anak-anak yang akan memimpin masa depan. Bekal pendidikan ini dirasa penting karena jika perempuan tak memiliki bekal apapun maka akan disanksikan dapat melahirkan seorang anak yang akan menjadi pemimpin masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

Ananta Toer, Pramoedya. 1899. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara
Eric R Wolf. 1985. Petani Suatu Tinjauan Antropologi. Jakarta: CV Rajawali
Mozaik (Jurnal Ilmu-ilmu sosial dan Humaniora) Vol.2 No.2 Januari 2007. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah FISE UNY.
Ricklefs,M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Vreede –De Stuers, Cora. 2008. Sejarah Pergerakan Perempuan. Depok: Komunitas Bambu

Jurnal:
Jurnal Sudrajat, Kartini: Perjuangan dan Pemikirannya (Dosen Jurusan Sejarah FISE UNY)
Jurnal Paramita: Alamsyah. Kreativitas Ekonomi Masyarakat Lokal di Keresidenan Jepara 1830-1900. Semarang
Jurnal Dina Dwikurniarini. berjudul Peranan Perempuan di Luar Rumah Tangga dalam Perspektif Historis.
Jurnal Hidayah, Nur. Feminisme Kemiskinan: Sebuah Bentuk Ketidakadilan Gender dalam Pembangunan.
Jurnal Dwikurniarini, Dina. Peranan Perempuan di Luar Rumah Tangga dalam Perspektif Historis


Sumber Internet:
Sumber Foto :  “LIFE” MAGAZINE, Edisi 13 Februari 1950 di download dari https://absoluterevo.wordpress.com/2011/12/04/potret-wajah-indonesia-tahun-1950-majalah-life-13-februari-1950/  23 Juni 2015 Pukul 09.45 WIB
http://smpn5jpr.blogspot.com/  diakses 22 Juni 2015 pukul 11.12 WIB


potret studio ra kartini kecil dg orang tua dan saudara 1890 an.jpg
Gambar 1.1 Kartini dan keluarga 1890

kartini dan suami 1903.jpg
Gambar 1.2 Kartini dan suami tahun 1903 M

dari majalag life 1950.bmp
Gambar 1.3 Perempuan Jepara saat panen padi 1950



[1] Penelitian: “jugun Ianfu, Eksploitasi Perempuan Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia (1942-1945)”
[2] Ibid.
[3] Ananta Toer, Pramoedya: Panggil Aku Kartini Saja (Jakarta)
[4] Ricklefs,M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press hal.190
[5] Vreede-De Stuers, Cora. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu. hal.45
[6] Jurnal : Sudrajat, Kartini: Perjuangan dan Pemikirannya (Dosen Jurusan Sejarah FISE UNY)
[7] Kartini, Door duisternis tot licht, hlm.139. dalam Vreede, Cora Sejarah Pergerakan Perempuan.
[8] Surat, 6 Nopember 1899, kepada Estelle Zeehandelaar, dalam buku Panggil Aku Kartini Saja hal.53
[9] Sudrajat. Kartini: Perjuangan dan Pemikirannya dalam Mozaik (Jurnal Ilmu-ilmu sosial dan Humaniora) Vol.2 No.2 Januari 2007. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah FISE UNY. hal.41
[10] Kartini, Door duisternis tot licht, hlm.64-65. dalam Vreede, Cora Sejarah Pergerakan Perempuan.
[11] Hidayah, Nur. Feminisme Kemiskinan: Sebuah Bentuk Ketidakadilan Gender dalam Pembangunan. dalam Mozaik (Jurnal Ilmu-ilmu sosial dan Humaniora) Vol.2 No.2 Januari 2007. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Sejarah FISE UNY. hal.41
[12] Ninasapti Triaswati. “Woman and Children Labour Force in the Indonesia” dalam Jurnal Dina Dwikurniarini. berjudul Peranan Perempuan di Luar Rumah Tangga dalam Perspektif Historis
[13] Jurnal Paramita: Alamsyah. Kreativitas Ekonomi Masyarakat Lokal di Keresidenan Jepara 1830-1900. Semarang
[14] Ibid
[15] Kartini, Door duisternis tot licht, hlm.64-65. dalam Vreede, Cora Sejarah Pergerakan Perempuan.
[16] Eric R Wolf. Petani Suatu Tinjauan Antropologi. Jakarta: CV Rajawali, 1985, hlm.21
[17] Ibid hal.21
[18] Kartini, Door duisternis tot licht, hlm.289-290. dalam Vreede, Cora Sejarah Pergerakan Perempuan.

0 komentar:

Posting Komentar