Senin, 27 Juni 2016

Kembang Genjer (Sejarah dibalik Gerwani)



Kembang Genjer (Sejarah dibalik Gerwani)
*Shofwatul Mala
Keikutsertaan kaum wanita dalam semua aspek kehidupan suatu bangsa tidak dapat diabaikan. Disamping sebagai ibu dan isteri yang menjalankan peran domestik seputar urusan keluarga dan rumah tangga, kaum wanita sejalan dengan tuntutan zaman dan kondisi real lingkungan sekitarnya, juga dituntut berperan di sektor publik. Keikutsertaan kaum wanita Indonesia di sektor publik telah berlangsung lama sejak zaman pra kolonial yang antara lain ditandai oleh tampilnya beberapa tokoh wanita sebagai penguasa kerajaan baik di Jawa maupun luar Jawa. Demikian juga pada masa perang kemerdekaan Indonesia tahun 1945-1949, kaum wanita Indonesia secara langsung dan tidak langsung ikut berperan aktif di medan peperangan.[1]
            Keikutsertaan secara aktif kaum wanita dalam melawan kekuatan kolonial telah menonjol sejak abad 19. Hal itu antara lain dapat diketahui dari maraknya gerakan-gerakan perlawanan yang dipimpin oleh tokoh-tokoh wanita seperti Christina Martha Tiahahu dari Maluku pada tahun 1817-1819; Nyi Ageng Serang dari Jawa Tengah pada sekitar pertengahan abd XIX; Cut Nyak Dien dan Cut Meutia di dalam perang Aceh tahun 1873-1904; dan juga RA Kartini tahun 1879- 1904; Dewi Sartika 1884-1947; Maria Walenda Maramis tahun 1872-1924, Nyi Ahman Dahlan tahun 1872-1936, Rasuna Said 1901-1965.
            Dapat diduga bahwa awal keberadaan organisasi-organisasi perempuan semacam ini di Hindia Belanda (tahun 1910-an) berkaitan erat dengan dipromosikannya politik “Hutang Budi” (Politik Etik) oleh pemerintah kolonial pada waktu itu. Pemerintah Kolonial dan para pejabatnya masa itu percaya bahwa modernisme (ala Barat) mampu mengantar ke “pencerahan akal budi”. Pencerahan akal seperti itulah yang dipercayai akan menghasilkan kebaikan karena “kepandaian adalah pangkal keselarasan, dan kebodohan adalah pertanda kekacauan”.

Transformasi dari Gerwis ke Gerwani
            Pada saat gerakan wanita dalam berbagai wadah organisasi semakin berkembang, kemudian digelar Kongres Wanita Indonesia Pertama yang diselenggarakan pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Dalem Joyodipuran Yogyakarta. Salah satu hasil kongres adalah membentuk Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Sejak saat itulah tanggal 22 Desember dijadikan perayaan hari bersejarah dan disepakati sebagai lahirnya “Hari Ibu”. Untuk mengenangnya, kemudian diperingati setiap tahun sebagai Hari Nasional. Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) diubah namanya menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) pada Kongres Wanita Kedua yang diadakan di Jakarta pada tahun 1929.
            Setelah berakhirnya Perang Kemerdekaan, semua organisasi wanita tersebut diafiliasikan ke dalam suatu organisasi yang lebih besar dan merupakan induk dari seluruh organisasi wanita di Indonesia yang diberi nama Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). KOWANI didirikan di Surabaya pada awal bulan Juni tahun 1950, ketuanya adalah Nyi Puger, wakil ketua Ny. Dr. Angka Nitisastra, penulis Ny. Irang, dan anggota luar biasa Ny. Samadikun. Dalam rapat pembentukan itu juga dibentuk Panitia Pembantu Sosial yang anggotanya terdiri dari perhimpunan yang punya usaha kesosialan guna mendampingi dan membantu
melaksanakan pekerjaaan pemerintah di lapangan sosial.[2] Sejak saat itu organisasi wanita menjadi tersentralisasi dan kegiatannya lebih ditentukan oleh induk organisasinya, sehingga tidak dapat lagi semerdeka seperti sebelumnya.
Akhirnya pada tanggal 24-26 Nopember 1950 dalam kongresnya yang ke- 5, KOWANI dibubarkan dan diganti dengan nama Kongres Wanita Indonesia (tanpa singkatan).10 Dalam perjalanan selanjutnya, Kongres Wanita Indonesia hanyalah sebagai alat administrasi birokrasi yang lebih mengutamakan kepentingan pemerintah daripada kepentingan wanita sendiri sebagai pelaku sejarah.
Sementara itu, hampir bersamaan dengan pembentukan KOWANI, pada 4
Juni 1950 para wakil enam organisasi wanita berkumpul di Semarang, untuk melebur enam organisasi mereka masing-masing ke dalam satu wadah tunggal yang diberi nama Gerwis, yaitu kependekan dari Gerakan Wanita Indonesia Sedar. Enam organisasi tersebut ialah Rukun Putri Indonesia (Rupindo) dari Semarang, persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Isteri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura dari Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia dari Pasuruan.        
Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis) merupakan cikal bakal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), salah satu organisasi perempuan yang sangat disegani. Gerwis didirikan pada 4 Juni 1950 oleh enam organisasi perempuan: Rupindo (Rukun Putri Indonesia, Semarang), Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Istri Sedar (Bandung), Gerwindo (Gerakan Wanita Indonesia, Kediri), Wanita Madura (Madura), dan Perjuangan Putri Republik Indonesia (Pasuruan).[3]
            Dalam buku kembang-kembang genjer disebutkan Cikal bakal dari pendidrian Gerwani ini adalah seorang perempuan yang bernama Umi Sardjono. Awalnya Umi Sardjono ini merupakan anggota dari Barisan Buruh Wanita yang berada di bawah Partai Buruh Indonesia. Umi berpikir bahwa sebuah organisasi perempuan dengan kader berpandangan politik merupakan hal yang penting. Jadi ketika ada seorang anggota dari Laskar Wanita mengajaknya mendirikan sebuah organisasi, Umi langsung menyetjuinya. Ia pun langsung menggandeng Menteri Perburuhan di era Kabinet Amir Sjarifuddin, SK Trimurti.[4]
            Awalnya organisasi ini ditentang oleh Partai Komunis (afiliasi tiga partai kiri – Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai sosialis Indonesia (PSI), dan PBI-hasil “Jalan Baru” Musso) karena dianggap bisa melemahkan revolusi. Tapi hal tersebut ditangkis oleh umi dengan berdirinya Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) pada 4 Juni 1950, Umi dan Trimurti berhasil menghimpun tujuh organisasi massa perempuan dalam wadah bernama Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) yang berkantor di Semarang. Dipimpin oleh seorang Kader Laskar Wanita bernama Tris Metti, sementara Trimurti dan Umi sebagai wakil ketua I dan II.
Tujuh organisasi perempuan yang berfusi ke Gerwis memiliki sejarah heroic melawan belanda, baik sebelum perang kemerdekaan maupun selama perang bersenjata melawan Belanda tahun 1945-1950. Awalnya Gerwis hanya menerima perempuan berhaluan kiri atau yang mau menerima ideologis sosialis untuk jadi anggota. Namun kebijakan ini banyak mendapat kritik.
Kantor berita antara menyebutkan:
Gerwis yang diketuai oleh Tris Metti dari Semarang dan Nyonya Umi dari Surabaya, S.K. Trimurty dari Yogyakarta dan Nyonya Srie Kustijah dari Semarang masing-masing sebagai wakil ketua dan penulis, dalam rapatnya yang pertama itu telah memajukan tuntutan kapada pemerintah antara lain minta supaya fonds pembangunan negara ditujukan bagi kemakmuran rakyat dan mereka menghendaki negara kesatuan yang 100 % lepas dari “isme” penjajahan. Gerwis belum menggabungkan diri pada KOWANI.[5]

Dari berita tersebut dapat diketahui pandangan politik Gerwis sebagai organisasi wanita sangat progresif dan radikal dimana Indonesia harus merupakan NKRI yang 100 persen lepas dari “isme” penjajahan. Padahal seperti diketahui, bahwa negara Republik Indonesia pada waktu itu masih dalam bingkai Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berarti negara RI hanya merupakan bagian dari negara RIS.
Jika mencermati latar belakang sosial dari para tokoh wanita yang menjadi
pelopor Gerwis tersebut tampak berbeda-beda, tapi ternyata hal tersebut tidak menghalangi langkah mereka untuk bersama-sama terjun di tengah kancah perjuangan nasional. Bahkan beberapa dari mereka sudah berjuang dalam satuan gerilya melawan Jepang dan Belanda. Sejak awal berdirinya Gerwis merupakan organisasi perempuan yang paling aktif di bidang politik nasional. Sesuai dengan keputusan yang diambil dalam kongres I pada Desember 1951, Gerwis kemudian diubah menjadi Gerwani. Gerwani memiliki hubungan yang kuat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), namun sebenarnya merupakan organisasi independen yang memperhatikan masalah-masalah sosialisme dan feminisme.[6]
            Dalam buku kembang-kembang genjer disebutkan, Gerwani sendiri kala itu belum bisa disebut sebagai onderbow PKI. Keputusan untuk masuk PKI baru akan diambil pada Kongres Gerwani bulan Desember 1965. Keputusan tersebut dilaksanakan sebagai follow up dari keputusan Undang-undang Kepartaian dan Keorganisasian tahun 1965 yang menyebut ketentutan bahawa organisasi harus berafiliasi dengan partai politik, namun belum terlaksana sudah meletus peristiwa G30s 1965. Pengakuan berbeda didapat dari Umi, ketua Gerwani masa itu, menurutnya “kalaupun ada yang harus dipilih, sejak awal Gerwani memilih PKI”. Dari sini didapat suatu makna bahwa Gerwani sangat yakin dengan PKI yang dianggap sebagai partai yang seiring dengan ranah perjuanagn Gerwani.[7]
            Gerwani adalah organisai perempuan yang disegani pada masa tahun 1950-an. Gerwani bergerak di berbagai bidang. Yang menjadi focus adalah membantu perempuan-perempuan terutama yang tinggal di pedesaan agar mereka mendapat pendidikan. Dapat dikatakan hanya orang-orang kaya atau anak perempaun anak pamong desa saja yang bisa memperoleh pendidikan. Karena pendidikan perempuan masa itu sangat minim sekali maka tak jarang bahwa perempuan hanya menjadi ibu rumah tangga saja.[8]
            Karena kegiatan-kegiatan Gerwani yang boleh dibilang berbeda dengan organisai-organisasi perempuan lainnya dan lebih mengutamakan kepada perjuangan terhadap persamaan hak perempuan dan laki-laki maka banyak organisasi perempuan yang ingin bergabung dengan Gerwani. Namun tidak sedikit organisasi perempuan lain yang tidak menyukai Gerwani akan hal itu.

Gerwani dan Tragedi 65
…………..
Melihat mangsanya datang, anggota PR dan Gerwani yang sudah diindoktrinasi dengan kebencian dan kedengkian berteriak-rika histeris. Sambil menari-nari, mengelilingi para pahlawan revolusi itu, anggota-anggota Gerwani dan pemuda rakyat, BTI, SOBSI dan lain-lain menyanyikan lagu-lagu revolusioner ciptaan komponis-komponis Lekra, antara lain lagu-lagu “Ganyang Kabir”, “Ganyang 3 setan” ciptaan Soebroto K Atmodjo dan lagu pop yang sedang menjadi top hits pada waktu itu, “Genjer-Genjer”.
Untuk memanaskan suasana, banyak diantara anggota PR dan Gerwani itu bahkan menari…tanpa busana. Itulah apa yang mereka namakan “pesta harum bunga”. Pesta harum bunga seperti ini memang sudah beberapa malam mereka lakukan dalam rangka mengakhiri masa latihan. Pada saat-saat itu batas-batas moral dianggap tidak ada lagi. Hubungan seks secara liar diantara para anggota PR dan Gerwani memang sengaja dibiarkan oleh pimpinan latihan kemiliteran, untuk memberi semangat. Seorang dokter Ceropeboka telah memberikan suntikan-suntikan yang diduga berisi obat perangsang……………[9]
Berita yang dimuat Angakatan Bersenjata dan Berita Yudha yang kemudian dikutip berbagai suratkabar, dengan sejumlah tambahan seperti mata dicukil dan lain-lain, tersebut betul-betul membuat pembaca mual, marah, sekaligus bergidik. Tak ada yang bisa membayangkan bahwa ada manusia yang bisa berbuat kejam di luar batas kemanusiaan seperti itu. apalagi belakangan issu itu semakin kuat karena adanya Ade Irma Nasution akibat berondongan peluru para pembunuh yang menyasar pimpinan Angkatan Darat, Jenderal AH Nasution.
Mayjen Soeharto, menanggapi berita tersebut dengan menyatakan, “Jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala, betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan Gerakan 30 September”.[10]
Sejumlah kalangan menyatakan cerita dari tragedi 30 september 1965 merupakan fiksi yang sengaja dihadirkan untuk memberi nuansa terror, sekaligus melegalisasi terror yang lebih kejam terhadap mereka yang dituduh bertanggungjawab atas pembunuhan para “Pahlawan Revolusi”.
Dalam Stanley menyebutkan ada unsure ideologis, yaitu terjadinya sebuah amuk ideologis. Dimana para perempuan pelakunya adalah kelompok komunis yang murtad. Mereka, yang konon, dengan bertelanjang menari-nari dan memotong-motong zakar para jendral itu sudah keluar dari stereotip perempuan Indonesia yang normal, “yang baik dan benar”
Dalam banyak sumber menyebutkan mengenai peristiwa tersebut, sperti Kesaksian atas peristiwa tersebut di Clifford Geertz, After the Fact, Harvard University Press, 1995, atau tulisan Soe Hok Gie yang menggunakan nama samaran Dewa dalam “di sekitas Peristiwa Pembunuhan Besar-besaran di Bali”, Mahasiswa Indonesia edisi Minggu II dan III Desember 1967. Hanya Harian Sinar Harapan pada 13 Desember 1965 yang menyangkal hal itu dan memuat hasil visum tim dokter secara lengkap, tapi tampaknya terjadi tekanan hingga setelah itu harian ini kembali memberitakan versi yang “baik dan benar”.[11]
Kronologi dari peristiwa G30s tersebut dikatakan sebagai fiksi yang bertahan bertahun-tahun dan dikutip berulang-ulang. Penjelasan berbeda disampaikan dari hasil otopsi medis terhadap 6 jenazah Jendral dan seorang perwira yang dikubur, namun hal ini sepertinya sengaja disembunyikan baru pada tahun 1987 diungkap oleh indolog dari Universitas Cornell, Ben Anderson.
Dari hasil visum tim dokter yang diketuai Brigjen TNI dr Roebiono Kertapati didapati bahwa cerita soal penyayatan kelamin oleh anggota Gerwani merupakan isapan jempol belaka. Kelamin semua jenazah utuh. Tentang bola mata yang copot, hal itu dikarenakan saat dicemplungkan ke sumur posisinya adalah kepala terlebih dahulu.
Tim dokter yang memeriksa keadaan jenazah merasa ketakuatan dengan adanya tekanan lewat pemberitaan penyayatan penis para jenderal yang sama sekali tidak terbukti. Mereka mengaku menemui kesulitan dalam penyususnan laporan akhir otopsi, sebab berita yang dilansir media massa dan kemudian berkembang di masyarakat sudah terlanjur.
Stanley merasa tidak ada keterlibatan Gerwani dalam peristiwa tersebut. Keberadaan Gerwani di Kompleks Halim (Lubang Buaya) saat itu lebih dikarenakan adanya latihan para sukarelawan untuk mempersiapkan peningkatan konfrontasi dengan Negara “boneka” Inggris, Malysia. Mereka adalah bagain dari 21 juta sukarelawan terdaftar di seluruh Indonesia yang memenuhi “panggilan dwikora” sebagimana dikeluarkan Presiden Soekarno, sebagian dari mereka lebih banyak mengurusi dapur umum.[12]
Gerwani sendiri memiliki tempat latihan di Cipete Jakarta Selatan. Disana sekitar 50 pemudidilatih, dalam rangka program pendidikan resmi yang diselenggarakan Front Nasional, yaitu Pendidikan Kader Revolusi (Pekarev). Juga sejumlah organisasi perempuan lain mempunyai tempat latihan maing-masing.
Tempat latihan Lubang Buaya itu sendiri baru diadakan mulai musim kemarau 1965. Mayor Udara Suyono memberikan latihan bagi pemuda-pemudi sukarelawan kampanye Malaysia itu. sekurang-kurangnya mulai Juli 1965 para anggota PKI, Pemuda Rakyat, SOBSI< BTI< Gerwani telah mengikuti latihan di sana secara bergelombang.


[1] Nana Nurliana, dkk, Peranan Wanita Indonesia di Masa Perang
Kemerdekaan 1945-1950 (Jakarta: Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional, 1986), hlm.1.
[2] Antara, Dinas Dalam Negeri, 5 Juni 1950. hlm. 3. Dalam Risdha Nugroho, Undip halaman 26
[3] Idham Khalid, Gerwani dan Tragedi 1965. detiknews
[4] Fransisca, kembang-kembang genjer. Hal 66
[5] Antara, Dinas Dalam Negeri, 9 Juni 1950, hlm. 9.
[6] Risdha, 27
[7] Fransisca, Kembang-kembang Genjer hal.74
[8] Raras Christina. 2009. Mitos Gerwani. FIB UI
[9] Dibuat untuk keperluan seminar sehari “Tragedi Nasional 1965” yang diadakan Masyarakat Sejarawan Indonesia pada 8 September 1999 di Gedung Dewan Riset Nasional, Kompleks Puspitek, Serpong. Dikutip dari Stanley Penggambaran Gerwani Sebagai Kumpulan Pembunuh dan setan.
[10] Berita Yudha, 5 Oktobe 1965. Dikutip dari Stanley, Penggambaran Gerwani Sebagai Kumpulan Pembunuh dan setan.
[11] Ibid, hal 4
[12] Ibid, hal 6

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar