Kembang
Genjer (Sejarah dibalik Gerwani)
*Shofwatul Mala
Keikutsertaan kaum wanita dalam semua aspek
kehidupan suatu bangsa tidak dapat diabaikan. Disamping sebagai ibu dan isteri
yang menjalankan peran domestik seputar urusan keluarga dan rumah tangga, kaum
wanita sejalan dengan tuntutan zaman dan kondisi real lingkungan sekitarnya,
juga dituntut berperan di sektor publik. Keikutsertaan kaum wanita Indonesia di
sektor publik telah berlangsung lama sejak zaman pra kolonial yang antara lain
ditandai oleh tampilnya beberapa tokoh wanita sebagai penguasa kerajaan baik di
Jawa maupun luar Jawa. Demikian juga pada masa perang kemerdekaan Indonesia
tahun 1945-1949, kaum wanita Indonesia secara langsung dan tidak langsung ikut
berperan aktif di medan peperangan.[1]
Keikutsertaan secara aktif kaum
wanita dalam melawan kekuatan kolonial telah menonjol sejak abad 19. Hal itu
antara lain dapat diketahui dari maraknya gerakan-gerakan perlawanan yang
dipimpin oleh tokoh-tokoh wanita seperti Christina Martha Tiahahu dari Maluku pada
tahun 1817-1819; Nyi Ageng Serang dari Jawa Tengah pada sekitar pertengahan abd
XIX; Cut Nyak Dien dan Cut Meutia di dalam perang Aceh tahun 1873-1904; dan
juga RA Kartini tahun 1879- 1904; Dewi Sartika 1884-1947; Maria Walenda Maramis
tahun 1872-1924, Nyi Ahman Dahlan tahun 1872-1936, Rasuna Said 1901-1965.
Dapat diduga bahwa awal keberadaan
organisasi-organisasi perempuan semacam ini di Hindia Belanda (tahun 1910-an)
berkaitan erat dengan dipromosikannya politik “Hutang Budi” (Politik Etik) oleh
pemerintah kolonial pada waktu itu. Pemerintah Kolonial dan para pejabatnya
masa itu percaya bahwa modernisme (ala Barat) mampu mengantar ke “pencerahan
akal budi”. Pencerahan akal seperti itulah yang dipercayai akan menghasilkan
kebaikan karena “kepandaian adalah pangkal keselarasan, dan kebodohan adalah
pertanda kekacauan”.
Transformasi
dari Gerwis ke Gerwani
Pada saat gerakan wanita dalam
berbagai wadah organisasi semakin berkembang, kemudian digelar Kongres Wanita
Indonesia Pertama yang diselenggarakan pada tanggal 22-25 Desember 1928 di
Dalem Joyodipuran Yogyakarta. Salah satu hasil kongres adalah membentuk
Perikatan Perempuan Indonesia (PPI). Sejak saat itulah tanggal 22 Desember
dijadikan perayaan hari bersejarah dan disepakati sebagai lahirnya “Hari Ibu”.
Untuk mengenangnya, kemudian diperingati setiap tahun sebagai Hari Nasional.
Perikatan Perempuan Indonesia (PPI) diubah namanya menjadi Perikatan
Perhimpunan Istri Indonesia (PPII) pada Kongres Wanita Kedua yang diadakan di
Jakarta pada tahun 1929.
Setelah berakhirnya Perang
Kemerdekaan, semua organisasi wanita tersebut diafiliasikan ke dalam suatu
organisasi yang lebih besar dan merupakan induk dari seluruh organisasi wanita
di Indonesia yang diberi nama Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). KOWANI didirikan
di Surabaya pada awal bulan Juni tahun 1950, ketuanya adalah Nyi Puger, wakil
ketua Ny. Dr. Angka Nitisastra, penulis Ny. Irang, dan anggota luar biasa Ny.
Samadikun. Dalam rapat pembentukan itu juga dibentuk Panitia Pembantu Sosial
yang anggotanya terdiri dari perhimpunan yang punya usaha kesosialan guna
mendampingi dan membantu
melaksanakan
pekerjaaan pemerintah di lapangan sosial.[2]
Sejak saat itu organisasi wanita menjadi tersentralisasi dan kegiatannya lebih
ditentukan oleh induk organisasinya, sehingga tidak dapat lagi semerdeka
seperti sebelumnya.
Akhirnya pada tanggal 24-26 Nopember 1950 dalam
kongresnya yang ke- 5, KOWANI dibubarkan dan diganti dengan nama Kongres Wanita
Indonesia (tanpa singkatan).10 Dalam perjalanan selanjutnya, Kongres Wanita
Indonesia hanyalah sebagai alat administrasi birokrasi yang lebih mengutamakan kepentingan
pemerintah daripada kepentingan wanita sendiri sebagai pelaku sejarah.
Sementara itu, hampir bersamaan dengan pembentukan
KOWANI, pada 4
Juni
1950 para wakil enam organisasi wanita berkumpul di Semarang, untuk melebur
enam organisasi mereka masing-masing ke dalam satu wadah tunggal yang diberi
nama Gerwis, yaitu kependekan dari Gerakan Wanita Indonesia Sedar. Enam
organisasi tersebut ialah Rukun Putri Indonesia (Rupindo) dari Semarang,
persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Isteri Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura dari Madura, dan Perjuangan
Putri Republik Indonesia dari Pasuruan.
Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis) merupakan cikal
bakal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), salah satu organisasi perempuan yang
sangat disegani. Gerwis didirikan pada 4 Juni 1950 oleh enam organisasi
perempuan: Rupindo (Rukun Putri Indonesia, Semarang), Persatuan Wanita Sedar
(Surabaya), Istri Sedar (Bandung), Gerwindo (Gerakan Wanita Indonesia, Kediri),
Wanita Madura (Madura), dan Perjuangan Putri Republik Indonesia (Pasuruan).[3]
Dalam buku kembang-kembang genjer
disebutkan Cikal bakal dari pendidrian Gerwani ini adalah seorang perempuan yang
bernama Umi Sardjono. Awalnya Umi Sardjono ini merupakan anggota dari Barisan
Buruh Wanita yang berada di bawah Partai Buruh Indonesia. Umi berpikir bahwa
sebuah organisasi perempuan dengan kader berpandangan politik merupakan hal
yang penting. Jadi ketika ada seorang anggota dari Laskar Wanita mengajaknya
mendirikan sebuah organisasi, Umi langsung menyetjuinya. Ia pun langsung
menggandeng Menteri Perburuhan di era Kabinet Amir Sjarifuddin, SK Trimurti.[4]
Awalnya organisasi ini ditentang
oleh Partai Komunis (afiliasi tiga partai kiri – Partai Komunis Indonesia
(PKI), Partai sosialis Indonesia (PSI), dan PBI-hasil “Jalan Baru” Musso)
karena dianggap bisa melemahkan revolusi. Tapi hal tersebut ditangkis oleh umi
dengan berdirinya Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) pada 4 Juni 1950, Umi
dan Trimurti berhasil menghimpun tujuh organisasi massa perempuan dalam wadah
bernama Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) yang berkantor di Semarang.
Dipimpin oleh seorang Kader Laskar Wanita bernama Tris Metti, sementara
Trimurti dan Umi sebagai wakil ketua I dan II.
Tujuh organisasi perempuan yang berfusi ke Gerwis
memiliki sejarah heroic melawan belanda, baik sebelum perang kemerdekaan maupun
selama perang bersenjata melawan Belanda tahun 1945-1950. Awalnya Gerwis hanya
menerima perempuan berhaluan kiri atau yang mau menerima ideologis sosialis
untuk jadi anggota. Namun kebijakan ini banyak mendapat kritik.
Kantor berita antara menyebutkan:
Gerwis
yang diketuai oleh Tris Metti dari Semarang dan Nyonya Umi dari Surabaya, S.K.
Trimurty dari Yogyakarta dan Nyonya Srie Kustijah dari Semarang masing-masing
sebagai wakil ketua dan penulis, dalam rapatnya yang pertama itu telah
memajukan tuntutan kapada pemerintah antara lain minta supaya fonds pembangunan
negara ditujukan bagi kemakmuran rakyat dan mereka menghendaki negara kesatuan
yang 100 % lepas dari “isme” penjajahan. Gerwis belum menggabungkan diri pada
KOWANI.[5]
Dari berita tersebut dapat diketahui pandangan
politik Gerwis sebagai organisasi wanita sangat progresif dan radikal dimana
Indonesia harus merupakan NKRI yang 100 persen lepas dari “isme” penjajahan.
Padahal seperti diketahui, bahwa negara Republik Indonesia pada waktu itu masih
dalam bingkai Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berarti negara RI hanya
merupakan bagian dari negara RIS.
Jika mencermati latar belakang sosial dari para
tokoh wanita yang menjadi
pelopor
Gerwis tersebut tampak berbeda-beda, tapi ternyata hal tersebut tidak
menghalangi langkah mereka untuk bersama-sama terjun di tengah kancah
perjuangan nasional. Bahkan beberapa dari mereka sudah berjuang dalam satuan
gerilya melawan Jepang dan Belanda. Sejak awal berdirinya Gerwis merupakan
organisasi perempuan yang paling aktif di bidang politik nasional. Sesuai
dengan keputusan yang diambil dalam kongres I pada Desember 1951, Gerwis
kemudian diubah menjadi Gerwani. Gerwani memiliki
hubungan yang kuat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), namun sebenarnya
merupakan organisasi independen yang memperhatikan masalah-masalah sosialisme
dan feminisme.[6]
Dalam buku kembang-kembang genjer
disebutkan, Gerwani sendiri kala itu belum bisa disebut sebagai onderbow PKI.
Keputusan untuk masuk PKI baru akan diambil pada Kongres Gerwani bulan Desember
1965. Keputusan tersebut dilaksanakan sebagai follow up dari keputusan
Undang-undang Kepartaian dan Keorganisasian tahun 1965 yang menyebut ketentutan
bahawa organisasi harus berafiliasi dengan partai politik, namun belum
terlaksana sudah meletus peristiwa G30s 1965. Pengakuan berbeda didapat dari
Umi, ketua Gerwani masa itu, menurutnya “kalaupun ada yang harus dipilih, sejak
awal Gerwani memilih PKI”. Dari sini didapat suatu makna bahwa Gerwani sangat
yakin dengan PKI yang dianggap sebagai partai yang seiring dengan ranah
perjuanagn Gerwani.[7]
Gerwani adalah organisai perempuan
yang disegani pada masa tahun 1950-an. Gerwani bergerak di berbagai bidang.
Yang menjadi focus adalah membantu perempuan-perempuan terutama yang tinggal di
pedesaan agar mereka mendapat pendidikan. Dapat dikatakan hanya orang-orang kaya
atau anak perempaun anak pamong desa saja yang bisa memperoleh pendidikan.
Karena pendidikan perempuan masa itu sangat minim sekali maka tak jarang bahwa
perempuan hanya menjadi ibu rumah tangga saja.[8]
Karena kegiatan-kegiatan Gerwani
yang boleh dibilang berbeda dengan organisai-organisasi perempuan lainnya dan
lebih mengutamakan kepada perjuangan terhadap persamaan hak perempuan dan
laki-laki maka banyak organisasi perempuan yang ingin bergabung dengan Gerwani.
Namun tidak sedikit organisasi perempuan lain yang tidak menyukai Gerwani akan
hal itu.
Gerwani
dan Tragedi 65
…………..
Melihat
mangsanya datang, anggota PR dan Gerwani yang sudah diindoktrinasi dengan
kebencian dan kedengkian berteriak-rika histeris. Sambil menari-nari,
mengelilingi para pahlawan revolusi itu, anggota-anggota Gerwani dan pemuda
rakyat, BTI, SOBSI dan lain-lain menyanyikan lagu-lagu revolusioner ciptaan
komponis-komponis Lekra, antara lain lagu-lagu “Ganyang Kabir”, “Ganyang 3
setan” ciptaan Soebroto K Atmodjo dan lagu pop yang sedang menjadi top hits
pada waktu itu, “Genjer-Genjer”.
Untuk
memanaskan suasana, banyak diantara anggota PR dan Gerwani itu bahkan
menari…tanpa busana. Itulah apa yang mereka namakan “pesta harum bunga”. Pesta
harum bunga seperti ini memang sudah beberapa malam mereka lakukan dalam rangka
mengakhiri masa latihan. Pada saat-saat itu batas-batas moral dianggap tidak
ada lagi. Hubungan seks secara liar diantara para anggota PR dan Gerwani memang
sengaja dibiarkan oleh pimpinan latihan kemiliteran, untuk memberi semangat.
Seorang dokter Ceropeboka telah memberikan suntikan-suntikan yang diduga berisi
obat perangsang……………[9]
Berita yang dimuat Angakatan Bersenjata dan Berita
Yudha yang kemudian dikutip berbagai suratkabar, dengan sejumlah tambahan
seperti mata dicukil dan lain-lain, tersebut betul-betul membuat pembaca mual,
marah, sekaligus bergidik. Tak ada yang bisa membayangkan bahwa ada manusia
yang bisa berbuat kejam di luar batas kemanusiaan seperti itu. apalagi
belakangan issu itu semakin kuat karena adanya Ade Irma Nasution akibat
berondongan peluru para pembunuh yang menyasar pimpinan Angkatan Darat,
Jenderal AH Nasution.
Mayjen Soeharto, menanggapi berita tersebut dengan
menyatakan, “Jelaslah bagi kita yang menyaksikan dengan mata kepala, betapa
kejamnya aniaya yang telah dilakukan oleh petualang-petualang biadab dari apa
yang dinamakan Gerakan 30 September”.[10]
Sejumlah kalangan menyatakan cerita dari tragedi 30
september 1965 merupakan fiksi yang sengaja dihadirkan untuk memberi nuansa
terror, sekaligus melegalisasi terror yang lebih kejam terhadap mereka yang
dituduh bertanggungjawab atas pembunuhan para “Pahlawan Revolusi”.
Dalam Stanley menyebutkan ada unsure ideologis,
yaitu terjadinya sebuah amuk ideologis. Dimana para perempuan pelakunya adalah
kelompok komunis yang murtad. Mereka, yang konon, dengan bertelanjang
menari-nari dan memotong-motong zakar para jendral itu sudah keluar dari
stereotip perempuan Indonesia yang normal, “yang baik dan benar”
Dalam banyak sumber menyebutkan mengenai peristiwa
tersebut, sperti Kesaksian atas peristiwa tersebut di Clifford Geertz, After
the Fact, Harvard University Press, 1995, atau tulisan Soe Hok Gie yang
menggunakan nama samaran Dewa dalam “di sekitas Peristiwa Pembunuhan
Besar-besaran di Bali”, Mahasiswa Indonesia edisi Minggu II dan III
Desember 1967. Hanya Harian Sinar Harapan pada 13 Desember 1965 yang
menyangkal hal itu dan memuat hasil visum tim dokter secara lengkap, tapi
tampaknya terjadi tekanan hingga setelah itu harian ini kembali memberitakan
versi yang “baik dan benar”.[11]
Kronologi dari peristiwa G30s tersebut dikatakan
sebagai fiksi yang bertahan bertahun-tahun dan dikutip berulang-ulang.
Penjelasan berbeda disampaikan dari hasil otopsi medis terhadap 6 jenazah
Jendral dan seorang perwira yang dikubur, namun hal ini sepertinya sengaja
disembunyikan baru pada tahun 1987 diungkap oleh indolog dari Universitas
Cornell, Ben Anderson.
Dari hasil visum tim dokter yang diketuai Brigjen
TNI dr Roebiono Kertapati didapati bahwa cerita soal penyayatan kelamin oleh
anggota Gerwani merupakan isapan jempol belaka. Kelamin semua jenazah utuh.
Tentang bola mata yang copot, hal itu dikarenakan saat dicemplungkan ke sumur
posisinya adalah kepala terlebih dahulu.
Tim dokter yang memeriksa keadaan jenazah merasa
ketakuatan dengan adanya tekanan lewat pemberitaan penyayatan penis para
jenderal yang sama sekali tidak terbukti. Mereka mengaku menemui kesulitan
dalam penyususnan laporan akhir otopsi, sebab berita yang dilansir media massa
dan kemudian berkembang di masyarakat sudah terlanjur.
Stanley merasa tidak ada keterlibatan Gerwani dalam
peristiwa tersebut. Keberadaan Gerwani di Kompleks Halim (Lubang Buaya) saat
itu lebih dikarenakan adanya latihan para sukarelawan untuk mempersiapkan
peningkatan konfrontasi dengan Negara “boneka” Inggris, Malysia. Mereka adalah
bagain dari 21 juta sukarelawan terdaftar di seluruh Indonesia yang memenuhi
“panggilan dwikora” sebagimana dikeluarkan Presiden Soekarno, sebagian dari
mereka lebih banyak mengurusi dapur umum.[12]
Gerwani sendiri memiliki tempat latihan di Cipete
Jakarta Selatan. Disana sekitar 50 pemudidilatih, dalam rangka program
pendidikan resmi yang diselenggarakan Front Nasional, yaitu Pendidikan Kader
Revolusi (Pekarev). Juga sejumlah organisasi perempuan lain mempunyai tempat
latihan maing-masing.
Tempat latihan Lubang Buaya itu sendiri baru
diadakan mulai musim kemarau 1965. Mayor Udara Suyono memberikan latihan bagi
pemuda-pemudi sukarelawan kampanye Malaysia itu. sekurang-kurangnya mulai Juli
1965 para anggota PKI, Pemuda Rakyat, SOBSI< BTI< Gerwani telah mengikuti
latihan di sana secara bergelombang.
[1] Nana Nurliana,
dkk, Peranan Wanita Indonesia di Masa Perang
Kemerdekaan
1945-1950 (Jakarta:
Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai
Tradisional,
1986), hlm.1.
[2] Antara, Dinas Dalam
Negeri, 5 Juni 1950. hlm. 3. Dalam Risdha Nugroho, Undip halaman 26
[3] Idham Khalid, Gerwani dan
Tragedi 1965. detiknews
[4] Fransisca, kembang-kembang
genjer. Hal 66
[6]
Risdha, 27
[7]
Fransisca, Kembang-kembang Genjer hal.74
[8]
Raras Christina. 2009. Mitos Gerwani. FIB UI
[9]
Dibuat untuk keperluan seminar sehari “Tragedi Nasional 1965” yang diadakan
Masyarakat Sejarawan Indonesia pada 8 September 1999 di Gedung Dewan Riset
Nasional, Kompleks Puspitek, Serpong. Dikutip dari Stanley Penggambaran Gerwani
Sebagai Kumpulan Pembunuh dan setan.
[10]
Berita Yudha, 5 Oktobe 1965. Dikutip dari Stanley, Penggambaran Gerwani Sebagai
Kumpulan Pembunuh dan setan.
[11]
Ibid, hal 4
[12]
Ibid, hal 6
0 komentar:
Posting Komentar