Subuh baru saja terlewati, bis dengan rombongan yang membawa 41 orang plus seorang bapak supir dan seorang bapak kernet melaju menembus jalanan. Gelapnya langit tak menghalangi pandangan dari bapak supir kami. Sekitar pukul 05.15 wib, perjalanan dimulai. Masih seperti biasa ketika melewati jalan raya Ungaran, meski masih pagi, tapi sebuah hal yang bernama “kemacetan” juga menghadang perjalanan kami. tapi apalah, keriuhan bus mengalahkan riuhnya kemacetan di luar jendela bus kami. Pemandangan yang berbeda setelah lepas dari bisingnya Ungaran lalu menembus jalan lingkar Salatiga dengan tebing-tebing di kiri-kanan jalannya, singgah di Boyolali, sebuah kota yang menampilkan peninggalan masa kolonial nan elok dengan arsitektur klasiknya. Sekitar pukul 07.05 wib kami tiba di rumah makan Elang Sari yang berada di sebelah Terminal Boyolali. Sarapan dengan lauk ayam goreng menjadi menu pagi.
Selesai
sarapan yang ditutup dengan antrian di kamar mandi itu, segera bis melesat tak
sabar menyapa Karanganyar. Keluar dari Boyolali, kami dihadapkan dengan
teriknya Kota Solo, kota indah yang masih mempertahankan aroma ke-jawa-annya
namun juga sisi modern terus tumbuh disana. Beberapa hal unik yang kulihat dari
kota solo, beberapa ikon kota yang masih mempertahankan khas ke-jawa-annya
seperti ornament-ornamen batik di beberapa gedung serta halte-halte kota,
adanya rel kereta api yang melintas di tengah kota juga membuat penasaran
bagiku yang bukan orang Solo, sayang tak dapat melihat fungsi dari rel tersebut
secara langsung. Seperti kota-kota besar lainnya, kemacetan tak dapat terhindarkan
di Solo apalagi dengan bis besar yang kami tumpangi, namun pemandangan indah Solo
mematahkan kejenuhan akan kemacetan kota yang penuh dengan kendaraan tersebut.
Setelah melewati sungai yang pernah jaya pada masanya, yang menjadi pusat
peradaban pada masa itu, Bengawan Solo sudah tak semegah dulu, tapi indahnya
tetap, Bengawan solo riwayatmu kini mengantarkan kami menyebrang menuju
Surakarta yang masih terasa teriknya hingga menginjak Karanganyar yang terus
menanjak dan berkelok menuju tujuan pertama kami, Astana Giribangun.
Astana
yang dalam bahasa Jawa Krama Inggil ini berarti makam. Karena tempat ini
merupakan makam dari Presiden kedua Indonesia, Bapak Soeharto. Pada dasarnya
Astana ini merupakan pemakaman dari keluarga Bu Tin Soeharto yang masih
keturunan dari Mangkunegaran III. Astana ini memiliki 3 ruang, dimana ruang
utamanya disebut Cungkup Argotuwuh, Cungkup Argokembang,
dan Cungkup Argosari yang merupakan cungkup tertinggi jika dibandingkan dengan
kedua cungkup tersebut. Empat tiang utama di dalam Cungkup Argosari ini terbuat
dari beton yang dihiasai dengan lapisan kayu ukiran asal Jepara. Selain itu,
pada dasar tiang tersebut juga dihiasi dengan cincin-cincin yang terbuat dari
logam kuning yang kilauannya mirip dengan emas. Sedangkan lantainya terbuat
dari marmer buatan Tulungagung.
Cungkup Argosari merupakan cungkup utama di
Astana Giribangun ini, dalam ruangan tersebut terdapat lima makam utama, makam
ayahanda Ibu Tin, ibu dari Ibu Tin, kakak Ibu Tin, Bapak Soeharto, serta Ibu
Tin sendiri. Astana ini dibangun pada 1974 dan diresmikan pada 1976. Area
Astana memiliki luas sebesar kurang lebih 200 m2. Bangunan di Astana
ini mengusung bentuk joglo seperti rumah jawa. Di bangunan utama dindingnya
berasal dari Kayu yang diukir dengan motif Jepara yang terlihat khas. Tiang
serta pintu masuknya juga terlihat megah, membuat pengunjung semakin merasa
sakral ketika disana. Pengunjung Astana ini cukup ramai tiap harinya, mayoritas
pengunjung datang untuk berziarah di makam bapak pembangunan tersebut.
Penjagaan dilakukan di berbagai sisi Astana, untuk memasuki lingkungan Astana
ini terlebih dahulu harus melakukan perizinan dengan membuat surat izin di
tempat yang telah disediakan, setelah itu baru dapat masuk ke lingkungan
Astana. Untuk masuk dikenakan biaya seikhlasnya dari pengunjung. Untuk menuju
ke Astana jika menggunakan bis besar seperti kami, maka bis terlebih dulu harus
transit di parkir bawah kemudian menaiki mobil charteran yang disediakan dengan
membayar sebesar 80ribu tiap mobilnya yang dapat mengangkut hingga 12 orang.
Perjalanan
berlanjut ke tujuan kedua, Candi Cetho. Untuk menuju Candi Cetho yang berjarak
kurang lebih 2 jam menggunakan mobil dari Astana ini harus melalui jalan
mendaki yang berkelok kembali. Memasuki kawasan pedesaan dengan suasana
persawahan hingga perkebunan teh di sisi kiri-kanan jalan. Namun bis besar
dengan kapasitas 50 orang ini tidak dapat langsung menuju Candi Cetho, terlebih
dulu harus transit di terminal kemuning untuk berganti ke Bis mini. Kami
menggunakan dua bis mini untuk mencapai candi cetho, satu bis mininya berbayar
sekitar 250ribu. Ada yang unik di terminal kemuning ini, begitu bis kami
mendekat, banyak anak-anak kecil berlarian membawa handphonnya sedang merekam,
pada awalnya aku bingung, namun penjelasan dari salah seorang teman yang
bercerita bahwa anak-anak itu menunggu supir bis memencet klakson dan berbunyi “telolet
lolet”. Hal yang belum pernah kutemui padahal sedang jadi ‘trend’ katanya.
Menaiki
bis mini kami menuju candi cetho, perjalanan kurang lebih 30 menit dari
terminal kemuning. Bis merambat pelan menaiki medan dengan kemiringan yang
cukup curam. Pemandangan kebun teh serta perkebunan sayur-mayur di kiri kanan
jalan memberikan panorama yang tak terlupakan, hijau terhampar di depan mata.
Candi cetho memang berada di ketinggian 1400 M diatas permukaan laut. Candi ini
ditemukan tahun 1842 oleh Van de Vlies dan dipugar tahun 1972 ini pada aslinya
memiliki 14 teras, namun sekarang yang Nampak ada 9 teras, masih ada gundukan
tanah yang merupakan candi yang belum dipugar. Candi ini masih digunakan untuk
beribadat kaum hindu. Untuk masuk ke area candi pengunjung diharuskan membayar
tiket, Rp 7000,00 untuk domestic serta Rp 25.000,00 untuk mancanegara.
Pengunjung juga diwajibkan mengenakan kain bermotif kotak hitam putih seperti
saat di Candi Borobudur bagi yang pernah kesana. Pemandangaan elok tersaji dari
candi cetho, seolah negeri diatas awan, karena disisi-sisi candi ini terlihat
awan putih seolah sejajar dengan mata pengunjung.
Sekitar
pukul 14.30 wib kami turun kembali ke terminal kemuning untuk melanjutkan
perjalanan. Setelah kembali berpindah bis, kami menuju rumah makan untuk makan
sore. Pukul 17.20 kami meluncur pulang meninggalkan Karanganyar. Namun
rombongan kami sempat mampir di pusat oleh-oleh di dekat Solo Square, Javenir. Disana
terdapat jajanan-jajanan yang dapat dibeli untuk oleh-oleh, juga terdapat baju
serta pernak-pernik seperti gantungan kunci. Sekitar pukul 19.17 wib, bis kami
melesat meninggalkan Solo untuk kembali ke tanah rantau Semarang. Perjalanan
tak pernah sepi dengan guyonan kami. Sangat menyenangkan untuk perjalanan kali
ini. terimakasih Karanganyar, terimakasih Pak Syaiful, terimakasih Sperm. This
is wonderfull trip :D
29 Mei 2016.
0 komentar:
Posting Komentar