Ini bulan Muharrom atau yang orang Jawa sebut dengan Syuro. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa (yang masih kental kepercayaannya) tanggal 1 syuro adalah hari dimana bala (keburukan) diturunkan, maka dari itu pada tanggal itu dikatakan bahwa dilarang bepergian kemana-mana, lebih baik di rumah saja karena berbahaya.
Beberapa waktu lalu aku membaca sebuah novel berjudul “Teheran dalam Toples”, novel lamaku yang berlatar di Teheran dan Indonesia. Dalam novel tersebut memceritakan tentang kehidupan seorang anak perempuan yang mengalami masa kecil di Iran, tepatnya di Teheran. Aku agak takjub dengan penggambaran Muharrom di sana. Mulai tanggal 1 sampai 10 Muharrom, Teheran adalah kota yang bersedih. Warganya mengenakan pakaian hitam-hitam, mengibarkan bendera hitam dan sepanjang kota dilantunkan lagu-lagu yang menyayat hati, taksi-taksi dan pertokoan melantunkan azadari (ratapan dukacita yang dilantunkan oleh orang yang disebut maddah). Bukan hanya itu, di beberapa tempat seperti depan gang dan depan masjid mereka mendidirikan tenda yang dilapis dengan kain hitam yang umumnya bertuliskan kaligrafi ‘Ya Husein Syahid atau Ya Husein Mazlum’. Pada tanggal 10 Muharrom terdapat pembagian makanan oleh warga Teheran, umumnya diberikan kepada warga menengah ke bawah, sekolah diliburkan, sorehari terdapat parade dasteb yaitu parade rombongan para lelaki yang menabuh perisai dan alat-alat musik seperti bass besar serta membawa bendera-bendera hitam yang umumnya bertuliskan nama-nama imam Syi’ah, beberapa orang dlaam rombongan itu menangis dan memukul dada mereka, sungguh memilukan.
Setelah menghatamkan novel itu aku membaca sebuah novel juga yang ditulis dengan gaya penulisan sejarah, berjudul “Karbala”. Aku pernah mendengar istilah Karbala oleh kakak kelasku yang bercerita dalam film india Peque terdapat penggambaran orang syiah yang menyeyat-nyayat punggung mereka dengan pedang, hal ini dilakukan dalam kesedihan mengingat peristiwa Karbala.
Cerita dalam novel itu bermula semenjak meninggalnya Kholifa Muawiyah bin Abi Sufyan, seorang Kholifah di Damaskus pada bulan Rajab tahun 60 H. Pada perjanjian yang dilakukan oleh Muawiyah dan Hasan bin Ali pada 41 H menyebutkan bahwa pemilihan Kholifah paska Muawiyah bin Abi Sufyan akan dilakukan secara demokratis menggunakan suara rakyat, namun setelah mangkatnya sang Kholifah, beliau mengangkat putranya Yazid bin Muawiyah sebagai Kholifah. Husein bin Ali, puta dari Ali bin Abi Tholib, adik dari Hasan bin Ali, dan cucu Rasullah saw dengan tegas menolak berbaiat untuk Yazid karena merasa pengangkatan Yazid sebagai Kholifah mencederai perjanjian yang pernah dilakukan Muawiyah dan Hasan bin Ali. Pada masa itu Husein tinggal di Madinah memutuskan untuk pindah ke Makkah karena merasa kondisi damai Kota Madinah tidak akan bertahan lama setelah Husein menolak untuk berbaiat untuk Kholifah Yazid. Sebenarnya kepindahan Al Husein juga merupakan rencana yang paling benar, mengingat Allah telah mengharamkan tanah Makkah dari pertumpahan darah apapun, sehingga setidaknya tidak akan terjadi kerusuhan terhadap penolakan Al Husein akan diangkatnya Yazid sebagai Kholifah, selain itu Makkah juga merupakan kantong keluarga Al Husein yaiut Bani Hasyim. Setelah pindahnya Husein ke Makkah, pada awalnya masyarakat Makkah mendukung Al Husein, mereka merasa senang akan kedatangan cucu dari manusia yang paling mereka cintai. Namun setelah keluarnya peraturan bahwa diangkatnya Kholifah Yazid dan semua rakyat harus berbaiat serta ancaman akan adanya hukuman bagi yang membangkang, masyarakat Makkah berbelok, beberapa dari mereka tak lagi ingin berurusan dengan Kholifah Yazid, meski tetap ada beberapa warga yang berpihak mendukung Al Husein terutama dari Bani Hasyim.
Kabar pengangkatan Kholifah Yazid menjadi berita utama di seluruh penjuru tanah arab, hingga Kufah, sebuah daerah yang menjadi ibukota pada masa Kholifah Ali bin Abi Tholib, namun kota tersebut juga menjadi saksi peperangan antar kaum muslimin, yaitu Perang Jamal dan Perang Shiffin. Orang-orang yang awalnya berpihak pada Ali bin Abi Thalib berpaling menyerang Kholifah Ali pada masa itu. Setelah diangkatnya Yazid, sisa-sisa orang yang dulu berpihak pada Ali berkumpul dan menulis surat untuk Al Husein, surat tersebut merupakan undangan untuk Al Husein, mereka butuh pemimpin, mereka menjanjikan tanah yang subur, serta bunga yang bermekaran menyambut Al Husein di Kufah, beberapa surat telah sampai kepada Al Husein, beberapa sahabat Al Husein di Makkah melarang agar Al Husein tidak mudah percaya pada orang Kufah mengingat apa yang terjadi pada masa Ali bin Abi Thalib. Semakin lama semakin banyak surat yang datang dari warga Kufah untuk Al Husein. Al Husein merasa terpanggil oleh surat-surat warga Kufah, akhirnya beliau memutuskan untuk pergi ke Kufah.
Yazid bin Muawiyah mendengar kabar kepergian AL Husein dan rombongan ke Kufah, dengan segera Yazid mengganti gubernur Kufah dengan Gubernur Basrah Ubaidillah bin Ziyad yang segera membentuk pasukan untuk menghadang rombongan Al Husain. Pasukan yang dipimpin Hurr bin Yazid menghadang AL Husein, namun karena tidak berhasil mengambil baiat Al Husain untuk Yazid justru Hurr bin Yazid malah terenyuh dengan keteguhan Al Husein, kemudian Hurr bin Yazid memandu ke sebuah tempat untuk AL Husain dan rombongan yang tidak mau kembali ke Makkah serta telah mengetahui bahwa orang-orang Kufah yang memanggilnya telah berpaling karena takut akan ancaman oleh gubernur baru Ubaidillah bin Ziyad yang telah melakukan hukuman pancung bagi yang menentang pemerintahan Yazid bin Muawiyah.
Karbala, ketika sampai di Karbala, sebuah padang tandus di tepian sungai Eufrat yang bersebelahan dengan Sungai Tigris, dua sungai yang menjadi pusat peradaban Mesopotamia (aku ingat saat pelajaran Sejarah Asia Timur he). 2 Muharram 61 H, rombongan Al Husain dan Hurr bin Yazid yang sedang mendirikan tenda dikagetkan dengan kedatangan pasukan utusan gubernur Kufah yang dipimpin oleh komandan perang baru yang diangkat menggantikan Hurr bin Yazid karena dirasa gagal membawa AL Husain. Rombongan pasukan yang dipimpin Umar bin Sa’ad membuat formasi lingkaran ke seluruh penjuru rombongan Al Husain sehingga tak ada celah untuk mereka kabur (bahkan dengan sembunyi-sembunyi). Hingga 9 Muharrom AL Husain diberi kesempatan untuk berbaiat kepada Kholifah Yazid namun tak juga dilakukan beliau, beliau masih snagat memegang teguh perjanjian yang telah dilakukan Muawiyah dan kakak beliau Hasan bin Ali. Hingga akhirnya pertempuran terjadi pada 10 Muharrom 61 H, rombongan AL Husain yang hanya tinggal beberapa puluh yang didominasi perempuan dan anak-anak ini gugur dalam pertempuran tersebut, termasuk Husain bin Ali.
Sebuah novel yang menceritakan perjalanan panjang peristiwa Karbala yang ditulis oleh Zhaenal Fanani ini menjawab pertanyaanku tentang apa yang dipaparkan Aminatul Faizah dalam novel Teheran dalam Toples, mengingat sebagian besar warga Iran khususnya di Teheran adalah penganut Syiah. Terlepas kebenaran seajarah yang sesungguhnya masih perlu baca sumber yang lebih terpercaya, karena buku-buku di atas adalah novel yang masih bisa mendapat imbuhan-imbuhan pemanis seperti hidup yang seperti novel, udah ada penulisnya, bedanya kamu harus menemukan alurmu sendiri, ehm :D
Terimakasih sudah membaca
0 komentar:
Posting Komentar